Wikipedia

Hasil penelusuran

Awal sebuah harapan

Dengan Pendidikan, Sebuah Harapan Akan Selalu Ada.

Sebuah langkah kecil

Sebuah langkah kecil yang akan mampu merubah sebuah bangsa.

Untuk sebuah tujuan mulia

Indonesia Jaya...!!!!!!!.

Minggu, 06 November 2016

Pendidikan Kritis: Apa Dan Bagiaman?

Pendidikan kritis adalah suatu aliran dalam pendidikan yang mempercayai adanya muatan politik, kepentingan, dan tujuan lainnya dalam semua aktivitas pendidikan. Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik. Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari berbagai kepentingan tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan (Nuryanto, 2011:2). Bersadsrakan kesadaran di atas, pendidikan kritis berusaha membangun kesadaran kritis manusia agar mereka mampu memecah, memilah dan memahami dengan seksama kepentingan apa yang menyelimuti realitas di sekitar mereka. 
Mengapa ini menjadi penting? Pendidikan kritis menjadi prnting karena fakta menunjukkan bahwa segala tindakan penindasan, eksploitasi dan dominasi berlangsung arena terdegradasinya kesadaran kritis manusia. Singkatnya, ketika kesadaran kritis manusia sudah hilang maka manusia cenderung akan dikuasai, diekploitasi dan dikendalikan oleh pihak lain. Yang lebih berbabahaya adalah mereka sama sekali tidak merasakan dan menyadari hal tersebut. Hal tersebut seolah menjadi realitas yang harus diterima, realitas yang diyakini sepenuhnya benar. 
Tiga tingkatan kesadaran manusia
Paulo Freire salah satu tokoh pendidikan kritis membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah kesadadaran magis, kesadaran magis berarti manusia tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya dalam contoh kasus masyarakat miskin, manusia dalam tingkatan kesadaran ini (baik yang mengalami ataupun orang lain) tidak mampu melihat kaitan kemiskinan yang terjadi dengan struktur politik, ekonomi atau kebudayaan. Pada tingkatan ini manusia hanya membenturkan permalsalahan yang dialami kepada takdir sehingga mereka berpendapat masalah ini adalah sebuah given yang sudah tidak bisa dirubah lagi. Tingkatan kedua adalah kesadaran naif. Pada tingkatan ini kesadaran manusia akan bertumpu pada faktor manusia sebagai akar suatu masalah. Seperti contoh di atas, manusia yang berada pada tingkat kesadaran ini akan memandang sebuah kasus kemiskinan berakar pada kesalahan manusia itu sendiri. Mereka miskin karena malas bekerja, miskin karena kurang bersemangat dalam bekerja, miskin karena kurangnya tingkat pendidikan, kurang belajar, dsb. Faktor lain selain faktor manusianya akan cenderung diabaikan dan dikesampingkan. Tingkatan ketiga yaitu kesadaran kritis, pada tingkatan ini, permasalahan dilihat dari berbagai sudut pandang dan yang paling utama adalah penyabab utama dari suatu permasalahan adalah ada pada struktur yang lebih luas dan kompleks. Dalam contoh masyarakat miskin di atas, manusia tingkat kesadaran ini akan melihat penyebab masalah tersebut ada pada faktor struktur politik, ekonomi dan kebdayaan yang kurang tepat yang berakibat pada keadaan masyarakat. 
Tujuan utama pendidikan kritis adalah untuk manjadikan manusia memiliki kesadaran kritis sehingga mereka mampu menganalisis, memetakan dan mencari solusi dari setiap permasalahan yang mereka alami secara komprehensif dan mendalam. Pendidikan kritis bertujuan untuk menjadikan manusia yang sepenuhnya sadar tentang kehidupan dunia, menyadari akan realitas yang mereka hadapi dan mampu menentukan nasib mereka sendiri. Pendidikan kritis juga bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya, manusia yang  menjadi subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi manusia sejati yang sadar yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. 
Penerapan pendidikan kritis
Dalam pendidikan kritis yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya (Allman, 1998). Dalam pendidikan kritis, pengetahuan tidak bisa hanya sekedar dicangkokkan dan dituangkan ke peserta didik, namun pengetahuan harus diberikan dengan proses dialogis dan terbuka. Dalam pendidikan kritis pengetahuan tidak ditempatkan pada entitas independen yang lepas dari proses pembentukannya melainkan sebuah entitas yang terkonstruksi lewat suatu proses tertentu yang tidak bebas nilai (Freire, 1971). Dengan proses dialog akan mengahsilkan sebuah conscientizations yaitu proses berkembangnya kesadaran. Conscientization adalah proses dimana manusia memiliki critical awareness sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi – kontradiksi sosial yang ada di sekitarnya dan mampu mengubahnya. 
Pendidikan kritis berdasarkan atas keadilan dan kesertaraan. Maka dari itu, pendidikan yang menerepakan pendidikan kritis tidak hanya berkutat pada sekolah, kurikulum dan kebijakan pendidikan tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan. Penerapan pendidikan kritis haruslah menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan obyek. Dalam pendidikan kritis guru bukanlah sumber pengetahuan satu – satunya dan bukanlah satu – satunya pemilik kebenara dan pengatahuan tunggal. Hubungan antara guru dan murid haruslah bersifat horizontal bukan vertikal. Guru dan murid sama – sama sebagai learner subyek yang belajar bersama sedangkan obyek mereka adalah realita kehidupan sehingga akan terjadi proses dialogis yang bersifat intersubyek untuk memahami suatu obyek bersama. 
Pada akhirnya untuk mencapai suatu pendidikan yang mampu menjadikan masyrakat mempunyai tingkatan berfikir krits, mandiri, mampu merubah nasib mereka sendiri, bukan menjadi obyek dari bangsa lain maka sudah waktunya untuk menerapkan pendidikan kritis pada setiap sendi kehidupan masyarakat khususnya di institusi pendidikan. Sudah saatnya guru/ dosen memperlakukan peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta mengedapankan proses dialogis dalam setiap pembelajaran. 
Institusi pendidikan dalam hal ini sekolah juga harus meninggalkan budaya – budaya primitif dan mulai kembali ke kitah nya. Sekolah harus memberikan ruang seluas – luasnya bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multikultural. Sekolah harus kembali kepada tugas utama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan prinsip keadilan sosial bagi semua. Sekolah harus mampu mengakomodir semua kalangan bukan hanya yang memiliki modal dan kecerdasan. Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam perubahan sosial bukan hanya menjadi kepanjangan dari penguasa dan kapitalisme. Sekolah harus berusaha melahirkan manusia – manusia yang mandiri dan merdeka bukan hanya manusia pasar yang hanya ditujukan untuk kepentingan industri. 

Kamis, 03 November 2016

Solusi Permasalahan Kualitas Guru

Kompas 15 oktober 2016 memberitakan mengenai Deklarasi Jakarta yang merupakan rumusan dari Konvensi Nasional pendidikan  ke VIII. Dalam pemberitaan tersebut, salah satu hasil Deklarasi Jakarta yaitu memperbaiki kualitas guru dengan proses penyaringan yang diperketat. Perbaikan guru harus dimulai dari pangkalnya yaitu dimulai dari proses seleksi calon mahasiswa. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa salah dari tahap seleksi haruslah berbeda dengan seleksi mahasiswa non keguruan sehingga akan terpilih bibit – bibit unggul yang benar – benar siap untuk ditempa menjadi guru yang profesional dan berdedikasi. Solusi tersebut juga diperkuat dengan kisah sukses sistem pemdidikan di Finlandia yang menerapkan seleksi ketat pada calon guru di negara tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah solusi tersebut bisa sepenuhnya diterapkan dalam kasus Indonesia? Apakah solusi tersebut benar – benar menjadi solusi yang ampuh untuk memperbaiki kualitas guru di tanah air yang masih di bawah standar ini?

Tidak Signifikan
Menurut penulis, solusi tersebut tidak signifikan dalam memperbaiki kualitas guru dan kurang komprehensif dalam melihat penyebab akar permasalahan kualitas guru di Indonesia. Ada dua faktor yang menjadikan solusi tersebut kurang tepat dan kurang bijak untuk diterapkan. Pertama faktor LPTK swasta, seperti kita ketahui bentuk LPTK di Indonesia beraneka ragam, sampai saat ini LPTK di Indonesia terdiri dari universitas negeri eks IKIP, FKIP pada universitas negeri, FKIP pada universitas terbuka (UT), IKIP swasta, FKIP pada universitas swasta, dan STKIP swasta. Dari berbagai bentuk LPTK tersebut dibagi menjadi 3 pengelolaan yaitu negeri dibawah Kementerian Ristek Dikti, negeri dibawah Kementerian agama, dan swasta. LPTK yang berstatus negeri mungkin bisa dilakukan standarisasi dalam penerimaan mahasiswa calon guru tersebut namun bagaimana dengan LPTK yang berstatus swasta? Jawabannya jelas sulit atau bahkan tidak bisa. Seperti kita ketahui bersama di indonesia sekarang hanya beberapa LPTK swasta yang benar – benar menerapkan standar pendidikan yang bermutu dan berkualitas, selebihnya (diakui atau tidak) masih banyak yang berorientasi bisnis. Hal tersebut ditandai dengan semakin menjamurnya jumlah LPTK swasta baru yang memanfaatkan momentum tunjangan sertifikasi guru yang menyebabkan animo masyarakat untuk menjadi guru semakin besar. LPTK ini hanya bertujuan untuk mengumpulkan mahasiswa sebanyak – banyaknya tanpa memperhatikan kualitas dan standar yang ada sehingga dalam proses pembelajaran cenderung apa adanya dan tidak berkualitas. Selain itu LPTK swasta yang sudah lama berdiri pun sangat janrang yang menerapkan penyaringan secara serius untuk mendapatkan calon guru yang baik. LPTK swasta yang hanya bisa hidup dari SPP mahasiswa tentu akan dengan senang hati menerima berapapun jumlah mahasiswa baru yang mendaftar tanpa memberlakukan proses penyaringan yang baik. Jika standarisasi penerimaan mahasiswa calon guru benar – benar direpakan (hanya bisa di LPTK negeri) akan berpengaruh berapa persen dalam perbaikan kualitas guru di indonesia mengingat jumlah LPTK negeri yang hanya sekitar 7% dari jumlah total LPTK di Indonesia? Tentu sangat sedikit jika tidak diimbangi dengan perbaikan kulitas di LPTK swasta. Kedua faktor Permendikbud 87/2013 tentang Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG). Dalam permendikbud tersebut jelas tertera bahwa untuk menjadi seorang guru profesional wajib mengikuti program PPG prajabatan. Dalam permendikbud tersebut juga disebutkan bahwa sarjana non kependidikan diperbolehkan untuk mengikuti PPG sehingga kesempatan untuk menjadi guru profesional tidak hanya menjadi milik sarjana kependidikan namun juga untuk sarjana non kependidikan. Jika salah satu pokok Deklarasi Jakarta tersebut benar – benar direalisasikan apakah masih relevan dengan mulai berlakunya PPG tersebut toh pada akhirnya mahasiswa non kependidikan juga diperbolehkan menjadi peserta PPG. 

Standarisasi Pengelolaan LPTK
Pada akhirnya salah satu pokok Deklarasi Jakarta hasil Konaspi ke VIII tentang memperketat seleksi calon mahasiswa keguruan menjadi tidak relevan dan tidak efisien dalam membenahi kualitas guru di Indoneisa. Pembenahan kualitas pembelajaran di LPTK khususnya LPTK swasta justru merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk diterapkan mengingat jumlah LPTK swasta yang jauh lebih besar dibandingkan dengan LPTK negeri. Kontrol ketat dan standar yang jelas harus diberlakukan guna melahirkan calon guru yang benar – benar profesional dan berintegritas. Komitmen bersama untuk bersama – sama bertanggung jawab dalam proses melahirkan valon guru yang berkualitas juga harus dilakukan. Peningkatan mutu dosen juga harus menjadi prioritas untuk melahirkan calon guru yang sesuai harapan. Idealisme – idealisme tersebut harus ditanamkan kuat – kuat dalam pengelolaan LPTK. LPTK jangan hanya dijadikan ajang pragmatisme sempit yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya. Optimalisasi PPG juga harus benar – ben