Wikipedia

Hasil penelusuran

Awal sebuah harapan

Dengan Pendidikan, Sebuah Harapan Akan Selalu Ada.

Sebuah langkah kecil

Sebuah langkah kecil yang akan mampu merubah sebuah bangsa.

Untuk sebuah tujuan mulia

Indonesia Jaya...!!!!!!!.

Minggu, 06 November 2016

Pendidikan Kritis: Apa Dan Bagiaman?

Pendidikan kritis adalah suatu aliran dalam pendidikan yang mempercayai adanya muatan politik, kepentingan, dan tujuan lainnya dalam semua aktivitas pendidikan. Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan politik. Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari berbagai kepentingan tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan (Nuryanto, 2011:2). Bersadsrakan kesadaran di atas, pendidikan kritis berusaha membangun kesadaran kritis manusia agar mereka mampu memecah, memilah dan memahami dengan seksama kepentingan apa yang menyelimuti realitas di sekitar mereka. 
Mengapa ini menjadi penting? Pendidikan kritis menjadi prnting karena fakta menunjukkan bahwa segala tindakan penindasan, eksploitasi dan dominasi berlangsung arena terdegradasinya kesadaran kritis manusia. Singkatnya, ketika kesadaran kritis manusia sudah hilang maka manusia cenderung akan dikuasai, diekploitasi dan dikendalikan oleh pihak lain. Yang lebih berbabahaya adalah mereka sama sekali tidak merasakan dan menyadari hal tersebut. Hal tersebut seolah menjadi realitas yang harus diterima, realitas yang diyakini sepenuhnya benar. 
Tiga tingkatan kesadaran manusia
Paulo Freire salah satu tokoh pendidikan kritis membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah kesadadaran magis, kesadaran magis berarti manusia tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya dalam contoh kasus masyarakat miskin, manusia dalam tingkatan kesadaran ini (baik yang mengalami ataupun orang lain) tidak mampu melihat kaitan kemiskinan yang terjadi dengan struktur politik, ekonomi atau kebudayaan. Pada tingkatan ini manusia hanya membenturkan permalsalahan yang dialami kepada takdir sehingga mereka berpendapat masalah ini adalah sebuah given yang sudah tidak bisa dirubah lagi. Tingkatan kedua adalah kesadaran naif. Pada tingkatan ini kesadaran manusia akan bertumpu pada faktor manusia sebagai akar suatu masalah. Seperti contoh di atas, manusia yang berada pada tingkat kesadaran ini akan memandang sebuah kasus kemiskinan berakar pada kesalahan manusia itu sendiri. Mereka miskin karena malas bekerja, miskin karena kurang bersemangat dalam bekerja, miskin karena kurangnya tingkat pendidikan, kurang belajar, dsb. Faktor lain selain faktor manusianya akan cenderung diabaikan dan dikesampingkan. Tingkatan ketiga yaitu kesadaran kritis, pada tingkatan ini, permasalahan dilihat dari berbagai sudut pandang dan yang paling utama adalah penyabab utama dari suatu permasalahan adalah ada pada struktur yang lebih luas dan kompleks. Dalam contoh masyarakat miskin di atas, manusia tingkat kesadaran ini akan melihat penyebab masalah tersebut ada pada faktor struktur politik, ekonomi dan kebdayaan yang kurang tepat yang berakibat pada keadaan masyarakat. 
Tujuan utama pendidikan kritis adalah untuk manjadikan manusia memiliki kesadaran kritis sehingga mereka mampu menganalisis, memetakan dan mencari solusi dari setiap permasalahan yang mereka alami secara komprehensif dan mendalam. Pendidikan kritis bertujuan untuk menjadikan manusia yang sepenuhnya sadar tentang kehidupan dunia, menyadari akan realitas yang mereka hadapi dan mampu menentukan nasib mereka sendiri. Pendidikan kritis juga bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya, manusia yang  menjadi subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi manusia sejati yang sadar yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. 
Penerapan pendidikan kritis
Dalam pendidikan kritis yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya (Allman, 1998). Dalam pendidikan kritis, pengetahuan tidak bisa hanya sekedar dicangkokkan dan dituangkan ke peserta didik, namun pengetahuan harus diberikan dengan proses dialogis dan terbuka. Dalam pendidikan kritis pengetahuan tidak ditempatkan pada entitas independen yang lepas dari proses pembentukannya melainkan sebuah entitas yang terkonstruksi lewat suatu proses tertentu yang tidak bebas nilai (Freire, 1971). Dengan proses dialog akan mengahsilkan sebuah conscientizations yaitu proses berkembangnya kesadaran. Conscientization adalah proses dimana manusia memiliki critical awareness sehingga mampu melihat secara kritis kontradiksi – kontradiksi sosial yang ada di sekitarnya dan mampu mengubahnya. 
Pendidikan kritis berdasarkan atas keadilan dan kesertaraan. Maka dari itu, pendidikan yang menerepakan pendidikan kritis tidak hanya berkutat pada sekolah, kurikulum dan kebijakan pendidikan tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan. Penerapan pendidikan kritis haruslah menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan obyek. Dalam pendidikan kritis guru bukanlah sumber pengetahuan satu – satunya dan bukanlah satu – satunya pemilik kebenara dan pengatahuan tunggal. Hubungan antara guru dan murid haruslah bersifat horizontal bukan vertikal. Guru dan murid sama – sama sebagai learner subyek yang belajar bersama sedangkan obyek mereka adalah realita kehidupan sehingga akan terjadi proses dialogis yang bersifat intersubyek untuk memahami suatu obyek bersama. 
Pada akhirnya untuk mencapai suatu pendidikan yang mampu menjadikan masyrakat mempunyai tingkatan berfikir krits, mandiri, mampu merubah nasib mereka sendiri, bukan menjadi obyek dari bangsa lain maka sudah waktunya untuk menerapkan pendidikan kritis pada setiap sendi kehidupan masyarakat khususnya di institusi pendidikan. Sudah saatnya guru/ dosen memperlakukan peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta mengedapankan proses dialogis dalam setiap pembelajaran. 
Institusi pendidikan dalam hal ini sekolah juga harus meninggalkan budaya – budaya primitif dan mulai kembali ke kitah nya. Sekolah harus memberikan ruang seluas – luasnya bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multikultural. Sekolah harus kembali kepada tugas utama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan prinsip keadilan sosial bagi semua. Sekolah harus mampu mengakomodir semua kalangan bukan hanya yang memiliki modal dan kecerdasan. Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam perubahan sosial bukan hanya menjadi kepanjangan dari penguasa dan kapitalisme. Sekolah harus berusaha melahirkan manusia – manusia yang mandiri dan merdeka bukan hanya manusia pasar yang hanya ditujukan untuk kepentingan industri. 

Kamis, 03 November 2016

Solusi Permasalahan Kualitas Guru

Kompas 15 oktober 2016 memberitakan mengenai Deklarasi Jakarta yang merupakan rumusan dari Konvensi Nasional pendidikan  ke VIII. Dalam pemberitaan tersebut, salah satu hasil Deklarasi Jakarta yaitu memperbaiki kualitas guru dengan proses penyaringan yang diperketat. Perbaikan guru harus dimulai dari pangkalnya yaitu dimulai dari proses seleksi calon mahasiswa. Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa salah dari tahap seleksi haruslah berbeda dengan seleksi mahasiswa non keguruan sehingga akan terpilih bibit – bibit unggul yang benar – benar siap untuk ditempa menjadi guru yang profesional dan berdedikasi. Solusi tersebut juga diperkuat dengan kisah sukses sistem pemdidikan di Finlandia yang menerapkan seleksi ketat pada calon guru di negara tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah solusi tersebut bisa sepenuhnya diterapkan dalam kasus Indonesia? Apakah solusi tersebut benar – benar menjadi solusi yang ampuh untuk memperbaiki kualitas guru di tanah air yang masih di bawah standar ini?

Tidak Signifikan
Menurut penulis, solusi tersebut tidak signifikan dalam memperbaiki kualitas guru dan kurang komprehensif dalam melihat penyebab akar permasalahan kualitas guru di Indonesia. Ada dua faktor yang menjadikan solusi tersebut kurang tepat dan kurang bijak untuk diterapkan. Pertama faktor LPTK swasta, seperti kita ketahui bentuk LPTK di Indonesia beraneka ragam, sampai saat ini LPTK di Indonesia terdiri dari universitas negeri eks IKIP, FKIP pada universitas negeri, FKIP pada universitas terbuka (UT), IKIP swasta, FKIP pada universitas swasta, dan STKIP swasta. Dari berbagai bentuk LPTK tersebut dibagi menjadi 3 pengelolaan yaitu negeri dibawah Kementerian Ristek Dikti, negeri dibawah Kementerian agama, dan swasta. LPTK yang berstatus negeri mungkin bisa dilakukan standarisasi dalam penerimaan mahasiswa calon guru tersebut namun bagaimana dengan LPTK yang berstatus swasta? Jawabannya jelas sulit atau bahkan tidak bisa. Seperti kita ketahui bersama di indonesia sekarang hanya beberapa LPTK swasta yang benar – benar menerapkan standar pendidikan yang bermutu dan berkualitas, selebihnya (diakui atau tidak) masih banyak yang berorientasi bisnis. Hal tersebut ditandai dengan semakin menjamurnya jumlah LPTK swasta baru yang memanfaatkan momentum tunjangan sertifikasi guru yang menyebabkan animo masyarakat untuk menjadi guru semakin besar. LPTK ini hanya bertujuan untuk mengumpulkan mahasiswa sebanyak – banyaknya tanpa memperhatikan kualitas dan standar yang ada sehingga dalam proses pembelajaran cenderung apa adanya dan tidak berkualitas. Selain itu LPTK swasta yang sudah lama berdiri pun sangat janrang yang menerapkan penyaringan secara serius untuk mendapatkan calon guru yang baik. LPTK swasta yang hanya bisa hidup dari SPP mahasiswa tentu akan dengan senang hati menerima berapapun jumlah mahasiswa baru yang mendaftar tanpa memberlakukan proses penyaringan yang baik. Jika standarisasi penerimaan mahasiswa calon guru benar – benar direpakan (hanya bisa di LPTK negeri) akan berpengaruh berapa persen dalam perbaikan kualitas guru di indonesia mengingat jumlah LPTK negeri yang hanya sekitar 7% dari jumlah total LPTK di Indonesia? Tentu sangat sedikit jika tidak diimbangi dengan perbaikan kulitas di LPTK swasta. Kedua faktor Permendikbud 87/2013 tentang Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG). Dalam permendikbud tersebut jelas tertera bahwa untuk menjadi seorang guru profesional wajib mengikuti program PPG prajabatan. Dalam permendikbud tersebut juga disebutkan bahwa sarjana non kependidikan diperbolehkan untuk mengikuti PPG sehingga kesempatan untuk menjadi guru profesional tidak hanya menjadi milik sarjana kependidikan namun juga untuk sarjana non kependidikan. Jika salah satu pokok Deklarasi Jakarta tersebut benar – benar direalisasikan apakah masih relevan dengan mulai berlakunya PPG tersebut toh pada akhirnya mahasiswa non kependidikan juga diperbolehkan menjadi peserta PPG. 

Standarisasi Pengelolaan LPTK
Pada akhirnya salah satu pokok Deklarasi Jakarta hasil Konaspi ke VIII tentang memperketat seleksi calon mahasiswa keguruan menjadi tidak relevan dan tidak efisien dalam membenahi kualitas guru di Indoneisa. Pembenahan kualitas pembelajaran di LPTK khususnya LPTK swasta justru merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk diterapkan mengingat jumlah LPTK swasta yang jauh lebih besar dibandingkan dengan LPTK negeri. Kontrol ketat dan standar yang jelas harus diberlakukan guna melahirkan calon guru yang benar – benar profesional dan berintegritas. Komitmen bersama untuk bersama – sama bertanggung jawab dalam proses melahirkan valon guru yang berkualitas juga harus dilakukan. Peningkatan mutu dosen juga harus menjadi prioritas untuk melahirkan calon guru yang sesuai harapan. Idealisme – idealisme tersebut harus ditanamkan kuat – kuat dalam pengelolaan LPTK. LPTK jangan hanya dijadikan ajang pragmatisme sempit yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya. Optimalisasi PPG juga harus benar – ben

Selasa, 25 Oktober 2016

USAHA MIKRO KECIL (UMK) DAN ADMINISTRASI

Usaha Mikro Kecil (UMK) sampai sekarang merupakan salah satu sektor penggerak utama roda perekonomian di Indonesia. Berbagai kelebihan dan keunikan sektor usaha ini menjadikan UMK semakin mampu bertahan dan terus berkembang di indonesia. Data empiris juga membuktikan bahwa keberadaan UMK secara langsung megurangi jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dimana UMK tersebut berdiri. Itulah sebabnya sektor UMK khususnya di Negara Sedang Berkembang (NSB) menjadi suatu sektor usaha primadona untuk mengentaskan kemiskinan yang umum terjadi di sebagian beasar NSB. Secara teoritis pembentukan UMK di suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan kemiskinan yang mendera di wilayah tersebut. Hubungan yang menunjukkan kaitan antara kemiskinan dengan keberadaan UMK dapat dijelaskan dengan dua teori yaitu pasar output dan pasar input (Tambunan, 2016). Hipotesis teori pasar output menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah orang miskin dalam suatu wilayah, maka semakin banyak jumlah UMK di wilayah itu yang memproduksi barang dan jasa dengan harga terjangkau dan dapat dibeli oleh masyarakat miskin sehingga produk UMK mempunyai segmen pasar tersendiri dan tidak bersinggungan dengan produk dari Usaha Menengah dan Besar (UMB) yang memproduksi barang dengan harga yang kurang terjangkau masyarakat berpendapatan rendah. Dalam hipotesis ini UMK muncul karena adanya faktor penarik yaitu permintaan dari konsumen. Hipotesis kedua yaitu teori pasar input, dalam teori ini keberadaan UMK di suatu wilayah disebabkan oleh karena banyaknya masyarakat miskin di wilayah tersebut yang mempunyai penghasilan rendah dan bahkan tidak mempunyai penghasilan sama sekali yang mencoba peruntungan untuk mencari sumber pendapatan tambahan ataupun mencari sumber pendapatan utama dengan mendirikan UMK di wilayah tersebut. Dikarenakan UMK cenderung lebih sederhana dan pengelolaan yang lebih mudah dibandingkan UMB (Usaha Menengah Besar) maka UMK menjadi satu satunya harapan masyarakat miskin untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dalam kasus ini UMK berperan sebagai penampung terakhir (last resort) bagi orang miskin. (Tambunan, 2016). Hubungan yang sangat erat antara UMK dengan kemiskinan diatas akan sangat besar dampaknya dalam proses pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat jika UMK mempunyai kinerja yang baik dan berdaya saing tinggi.  
Kuantitas bukan kualitas
Berdasarkan teori pembentukan UMK di atas, dapat dijelaskan penyebab jumlah unit UMK di NSB jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah UMB (termasuk di Indonesia). Kesimpulan dari hal tersebut yaitu, andil UMK yang lebih besar dibandingkan dengan UMB kepada perekonomian Indonesia bukan disebabkan oleh tingkat produktivitas yang tinggi namun disebabkan oleh jumlah UMK yang jauh lebih besar dibandingkan dengan UMB. Penyebabnya adalah karena kecenderungan UMK muncul di wilayah miskin sehingga pelaku UMK biasanya memiliki keterbatasan sumber – sumber utama pertumbuhan produktivitas seperti SDM, modal dan teknologi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mitzerg, Musselman dan Hughes (dalam Baswir, 1995:86) ciri –ciri umum keterbelakangan UMK secara garis besar yaitu: kegiatan cenderung tidak formal dan jarang memiliki rencana, struktur organisasi bersifat sederhana, pembagian kerja yang longgar, tidak adanya pemisahan antara kekayaan pribadi dan perusahaan, sistem akuntansi kurang baik dan bahkan tidak mempunyai sama sekali, skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya, kemampuan pemasraan yang rendah dan terbatas, margin keuntungan sangat tipis. Hambatan – hambatan itulah yang selama ini menyebabkan kinerja UMK masih jauh dari harapan. Daya saing UMK di Indonesia pun sampai saat ini masih rendah. 
Rendahnya kinerja serta daya saing UMK inilah yang sampai saat ini menjadikan UMK belum mampu untuk memberikan kontribusi secara maksimal sesuai dengan potensinya. Daya saing yang masih rendah juga menjadikan produk – produk UMK dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk – produk UMK luar negeri padahal persaingan tersebut kedepan menjadi suatu keniscayaan mengingat keadaan dunia yang semakin menuju tren globalisasi. Penguatan produktivitas dan daya saing juga merupakan sebuah kebutuhan yang cukup mendesak mengingat kemampuan daya beli masyarkat yang terus membaik sehingga tuntutan akan barang dengan kualitas baik semakin meningkat. Dari segi pengelolaan unit usaha UMK juga merupakan salah satu kunci dalam produktivitas UMK. Pengelolaan usaha yang memegang teguh asas – asas manajemen serta administrasi yang baik akan sangat membantu dalam proses pengelolaan UMK yang sehat, efektif dan efisien. 
Administrasi sebagai kunci
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa faktor pengelolaan dan pengorganisasian UMK sebagi suatu unit bisnis memegang peran kunci untuk meningkatkan kinerja sebuah UMK. Pengelolaan unit bisnis tentu sangat berkaitan erat dengan proses administrasi yang terjadi dalam unit bisnis tersebut. Kegiatan administrasi dalam sebuah unit bisnis/ organisasi merupakan sebuah kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan kerja dalam organisasi yang dilakukan dalam rangka mencapai berbagai tujuan yang telah ditentukan. Administrasi juga dapat dipahami sebagai suatu proses dan aktivitas melalui berbagai kegiatan pembimbingan, kepemimpinan, dan pengawasan usaha – usaha suatu kelompok orang ke arah pencapaian tujuan bersama (Priansa & Damayanti, 2015). Administrasi yang tertib baik dari level yang paling sederhana sampai yang kompleks merupakan syarat wajib bagi kemajuan daya saing dan kinerja suatu UMK. 
Kegiatan administrasi yang biasa dilakukan dalam sebuah unit bisnis/ organisasi meliputi kegiatan menghimpun, mencatat, mengolah, menggandakan, mengirim dan menyimpan. Henry Fayol  dalam karya monumentalnya berjudul Administration Industrielle Et Generale menekankan pentingnya a dministrasi dalam pengelolaan sebuah bisnis. Fayol membagi fungsi pokok administrasi dalam pengelolaan sebuah bisnis kedalam 5 aspek pokok yaitu: merencanakan (to plan), mengorganisasi (to organize), memimpin (to command), melaksanakan pengkoordinasian (to coordinate). 5 aspek pokok tersebut menurut penulis sangat sesuai jika diterapkan dalam pengelolaan sebuah UMK di Indonesia. Penerapan 5 aspek administrasi tersebut juga sangat relevan pada UMK apapun baik dalam bidang penghasil barang ataupun jasa baik yang masih sangat sederhana sampai yang sudah cenderung mapan. Penerapan kegiatan administrasi dalam pengelolaan UMK dalam tahap awal tidak perlu terlalu rumit, cukup menuliskan dan mendokumentasikan aliran uang, barang, dan sumber daya lain yang masuk serta keluar selama periode tertentu. Initinya adalah sebesar apapun usaha yang dijalankan, pencatatan dan pendokumentasian yang terhimpun dalam kegiatan administrasi wajib dilakukan. Yang wajib diingat adalah, dalam setiap kegiatan administrasi walaupun itu administrasi sederhana haruslah disusun dan dibuat secara rapi, sistematis dan tertib. 
Manfaat dari tertib administrasi di UMK sangat besar dalam mendukung kelangsungan usaha UMK tersebut. Administrasi yang dikelola dengan baik bisa menjadi basis data yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku UMK dalam merencanakan strategi usaha baik sekarang maupun yang akan datang dan dasar pengambilan keputusan dalam usaha. Kegiatan – kegiatan tersebut tentu akan sangat membutuhkan data yang akurat dan lengkap maka dari itu kegiatan administrasi akan sangat membantu dalam pelaksanaan proses tersebut. Administrasi juga akan sangtan bermanfaat dalam proses menuju sebuah UMK yang efisien. Pebagian kerja yang efisien, sistem produksi serta pemasaran yang efisien akan sangat berpengaruh terhadap daya saing UMK. 
Keseimbangan pemberdayaan UMK
Untuk mengatasi permasalah tersebut, perlu pihak – pihak terkait dalam memberikan dukungan dan bantuan terhadap UMK. Pemerintah baik pusat maupun daerah bekerja sama dengan pihak – pihak terkait (LSM, Universitas dan stakeholder lainnya) memegang peran kunci dalam mendistribusikan bantuan dan dukungan lain ke UMK. Bantuk bantuan pun juga harus seimbang antara bantuan yang bersifat tangibel (modal, kredit, alat, dsb) dengan bantuan yang bersifat intangibel yang cenderung bersifat pengambangan SDM pelaku UMK seperti pelatihan manajemen/ pengelolaan usaha dan pengenalan teknologi informasi. Pemberian bantuan yang hanya terfokus pada bantuan fisik tanpa diimbangi dengan bantuan nonfisik bisa diibaratkan hanyalah obat sesaat yang tidak memliki efek jangka panjang. Keseimbangan antara bantuan fisik dan non fisik akan menjadikan UMK berkembangan dengan sistem pengelolaan yang sehat dan memiliki efek jangka panjang terhadap UMK tersebut. Sistem pemberdayaan UMK kedepan seiyogyanya selalu memegang prinsip keseimbangan tersebut sehingga dana pemerintah maupun swasta yang mengalir dalam kegiatan pemberdayaan UMK tidak sia – sia dan tidak hanya menjadi obat jangka pendek. Dari segi UMK sendiri pun bantuan yang seimbang akan menjadikan UMK tumbuh dan berjalan dengan mengdepankan asas – asas manajemen yang benar, kegiatan administrasi yang baik serta dukungan dana modal yang cukup sehingga kedepan tentu kinerja dan daya saing UMK menjadi lebih baik. 





Selasa, 06 September 2016

Memaknai Kembali Tujuan Pembangunan

          Pidato kenegaraan Presiden selama kurang lebih 30 menit dihadapan DPR dan DPD dalam sidang paripurna 16 Agustus 2016 yang berlangsung yang lalu, Presiden menekankan pidatonya pada pentingnya pembangunan yang harus dilakukan di Indonesia. dalam pidato tersebut, Presiden menyebut kata pembangunan sebanyak 43 kali dan merupakan kata terbanyak yang disebutkan dalam pidato tersebut. Menjadi menarik untuk dikaji tentang makna pembangunan yang dimaksud Presiden Jokowi dalam pidato tersebut. Sebelumnya, mari kita melihat sejarah dari istilah pembangunan (development) yang beberapa dekade belakangan menjadi semacam resep ampuh untuk mengatasi permasalahan yang muncul di negara dunia ketiga. 
           Gagasan tentang pembangunan dimulai pasca perang dunia kedua tepatnya sekitar tanggal 20 Januari 1949, yakni ketika Presiden Amerika Serikat Harry S Truman untuk pertama kalinya memperkenalkan kebijakan pemerintah Amerika Serikat, yakni dengan memunculkan istilah keterbelakangan (underdevelopment). Inilah saat pertama diskursus pembangunan secara resmi diluncurkan, yakni dalam kaitan dan konteks perang dingin. Maksud dari kebijakan ini yaitu dalam rangka membendung pengaruh komunisme dan sosialisme di negara – negara dunia ketiga (Lummis, 1991). Dimulai dari saat itu dalam rangka menyebarluaskan gagasan pembangunan ke negara – negara dunia ketiga, ahli – ahli ilmu sosial pada dekade 1950 – 1960an mulai mengkaji dan menyempurnakan diskursus resmi tentang pembangunan yang kemudian ditransfer dan disebarluaskan ke negara – negara dunia ketiga.
         Dalam perkembangannya, pembangunan mulai diterapkan ke negara – negera dunia ketiga (termasuk Indonesia pada masa orde baru) dengan menanamkan nilai – nilai pembangunan yang telah dirumuskan oleh ahli – ahli ilmu sosial barat. Pembangunan menunjukan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa pembangunan yang digunakan. Namun kebanyakan konsep pembangunan yang diterapkan ke negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) menerapkan konsep pembangunan model barat yang dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju modernitas. Modernitas itu sendiri dipahami sebagai sebuah kemajuan yang tercermin dalam kemajuan teknologi dan industri seperti yang terjadi di dunia barat. Modernisasi dan pembangunan selanjutnya menjadi sebuah sinonim yang mempunyai kerangka teoritis dan ideologis dasar yang sama (Fakih, 2008). Selanjutnya asumsi dasar dari pembangunan disamakan dengan asumsi dasar modernitas yaitu sebuah perkembangan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. 
         Bermula dari titik itulah pembangunan yang selama ini kita rasakan sejak era orde baru manyisakan sebuah penyakit yang tidak kalah kronisnya dengan keadaan sebelum pembangunan itu dilakukan. Program pembangunan yang diterapkan cenderung bersifat dari atas kebawah (top-bottom) dan rakyat yang seharusnya sebagai penikmat pembangunan justru hanya menjadi obyek dari pembangunan sehingga manfaat yang didapatkan cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memang mampu bertahan dan beradaptasi dengan model pembangunan yang digunakan. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai keanekaragaman budaya serta kearifan lokal yang berbeda – beda “dipaksa” untuk seragamdan berubah menuju sebuah masyarakat yang modern seperti a la barat. Akibatnya tidak sedikit masyarakat lokal yang justru menjadi korban dari program pembangunan yang dilakukan selama ini. Contoh nyata dari dampak pembangunan dapat kita lihat secara kasat mata, indeks gini yang semakin melebar, angka kemiskinan absolut yang semakin tinggi, masyarakat periferi atau masyarakat pinggiran yang cenderung hanya menikmati dari sisa – sisa manfaat pembangunan, masyarakat yang semakin tercerabut dari akar budayanya, dan masih banyak lagi kita jumpai masyarakat yang seakan menjadi korban dari ideologi pembangunan tersebut.
           Sekarang kembali ke pembangunan yang disebut sampai 43 kali dalam pidato Presiden Jokowi 16 Agustus 2016 yang lalu. Jika dilihat dari pidato tersebut, konteks pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah sedikit berbeda dengan pembangunan yang diterapkan era orde baru. Dalam pidato tesebut, Presiden menekankan pembangunan dalam bidang insfrakstruktur dan pembangunan di daerah. Konteks pembangunan yang bisa kita tangkap secara garis besar adalah pembangunan sarana prasarana yang berkaitan tentang konektivitas antar wilayah. Dari pidato tersebut konteks pembangunan dapat kita bagi menjadi dua macam yaitu pembangunan fisik dan pembangunan sosial. Pemerintah sepertinya ingin menyelelaraskan dua pembangunan yang selama ini cenderung kurang berjalan beriringan. Pembangunan fisik yang kuat berupa insfrakstruktur jalan, bendungan dan sebagaimana tidak akan berarti apa – apa jika tidak diimbangi dengan pembangunan dalam bidang sosial berupa peningkatan kualitas hdup masyarakat bawah terutama pembangunan yang menyentuh sektor utama yaitu kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial. Pembangunan dalam bidang itu oleh pemerintah termanifestasi dalam program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan program – program berupa bantuan langsung lainnya kepada masyarakat kelas bawah.
            Program pembangunan tersebut memang agaknya mempunyai perbedaan pola dan pendekatan dengan pembangunan yang berlangsung sebelumnya. Pemerintaha berusaha melakukan program pembangunan yang bersifat bottom – up dengan melakukan pendekatan berupa pembangunan dalam bidang fisik yang diselaraskan dengan pembangunan sosial. Memang kedua program pembangunan tersebut masih belum terlaksana secara menyeluruh tapi setidaknya arah dan tujuan pembangunan sudah menyasar masyarakat kecil dengan berbagai program yang bersifat dari bawah ke atas. Program pembangunan seiyogyanya juga harus mempunyai tujuan luhur untuk memperbaiki bidang bidang yang pro rakyat kecil antara lain tentang distribusi kemakmuran dan rakyat mendapatkan akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Semoga program pembangunan yang diterapkan dalam pemerintahan Presiden Jokowi selalu konsisten dan berjalan dalam jalur yang semestinya sehingga manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat bawah yang selama ini hanya menjadi obyek pembangunan dan hanya menikmati tetesan manfaat dari pembangunan dan tidak menjadi msyarakat yang terpinggirkan akibat dari arah program pembangunan yang kurang tepat.

Sabtu, 16 Juli 2016

Meyongsong Globalisasi

Globalisasi, sebuah kata yang tampaknya menjadi semakin sering kita dengar akhir – akhir ini. Saya yakin sebagian masyarakat juga sudah cukup faham mengenai apa sebenarnya arti dari kata tersebut. Ya, globalisasi ibarat kata sebagai hilangnya sekat – sekat antar Negara. Dunia menjadi sebuah panggung baru dimana masyarakat di berbagai dunia akan bersaing dalam panggung bersama. Globalisasi diakuai atau tidak merupakan sebuah produk dari Negara maju, sebuah “mahzab” dari Negara barat. Namun apakah kita sebagai negara yang berkembang mampu untuk sembunyi dari hal tersebut? Menurut saya jawaban yang paling tepat yaitu tidak. Jika kita menutup diri dan contoh nyata dapat kita lihat dari negara korea Utara, bagaimana Negara tersebut sekarang berjalan dengan sangat pincang dan masyarakatnya hidup dibawah garis kemiskinan dikarenakan penguasanya sangat menutup diri dengan pergaulan internasional. Jadi  kita tidak harus sembunyi atau menutup diri dari globalisasi. Suka atau tidak suka jika kita ingin hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang madani, yang demokratis dan yang dapat sejajar dengan masyarakat internasional maka kita harus menghadapi globalisasi dengan cara – cara yang elegan dan terencana sehingga kita sebagai Negara berkembang mampu bertahan dan mampu mengambil peluang untuk keuntungan Negara dari globalisasi tersebut.
Pertanyaan terbesar sekarang adalah bagaimana cara kita untuk menghadapi globalisasi tersebut? Apa langkah yang harus dilakukan negara agar kita mampu memanfaatkan globalisasi untuk memetik keuntungan yang sebesar – besarnya? Prof. H.A.R Tilaar dalam bukunya Membenahi Pendidikan Nasional mengungkapkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh Negara berkembangn untuk menghadai gempuran arus globalisasi dan lebih jauhnya dapat mengambil peluang yang sebanyak – banyaknya untuk kepentingan Negara. Langkah – langkah tersebut antara lain :
 Mempersiapkan masyarakat dan anggota masyarakat melalui pendidikan yang lebih baik. Dari langkah pertama dia atas kata kuncinya ada pada pembenahan kualitas pendidikan. Ya, pendidikan merupakan cara yang paling tepat untuk menyiapkan manusia – manusia yang mampu kompetitif sesuai dengan bidang masing – masing. Pendidikan jangan kita artikan sempit hanya ada dalam sekolah, pendidikan merupakan sebuah “rumah besar” yang di dalamnya terdapat barbagai macam jenis yang beraneka ragam. Dalam hal ini pemerintah mengambil peran kunci, arah pendidikan nasional harus jelas serta program – program strategis dalam pendidikan Nasional harus benar – benar diutamakan. Yang tidak kalah penting adalah dalam hal pengawasan, banyak sekali program yang bagus namun mandek dalam pelaksanaan. Terlalu lama dalam eksekusi program atau penyelewengan dalam alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang harus segera diselesaikan. Kebijakan – kebijakan yang tepat tanpa memasung kebebasan akademik para indan pendidikan merupakan hal mutlak harus dilaksanakan. 
Menjadikan tradisi, budaya dan seni sebagai unsur – unsur penting dalam pembinaan warga Negara yang kreatif, produktif, dan penuh percaya diri yang akhirnya dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi yang berpegang pada nilai – nilai di atas. Akselerasi pertumbuhan ekonomi memang sangat bagus di era globalisasi ini, namun akselerasi pertumbuhan ekonomi tanpa didasari nilai – nilai luhur di dalamnya hanya akan membuat pertumbuhan itu tergerogoti dengan praktik – praktik yang sangat merugikan bangsa. Seperti kita ketahi bersama akselerasi pertumbuhan ekonomi kita selama era orde baru cukup menjanjikan. Namun karena tidak didasarkan pada nilai – nilai luhur bangsa kita, pertumbuhan ekonomi kita selama 3 dekade juga disertai pertumbuhan bdaya KKN yang semakin merajalela. Dengan memegang teguh nilai – nilai luhur bangsa dalam setiap perjuangan memajukan ekonomi akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi semakin mantab dan tanpa disertai dengan praktik – praktik kotor yang suatu saat justru akan merobohkan struktur ekonomi suatu bangsa.
Perlu dikembangkannya sense of identity. Seperti yang telah dikekmukanan di atas, pertumbuhan ekonomi wajib sisertai dengan penguatan nilai – nilai budaya luhur bangsa. Selain itu, penguatan nilai – nilai dan budaya bangsa wajib untuk diperkuat dan dijadikan pegangan setiap masyarakat. Dalam era yang tanpa batas, gempuran budaya dari berbagai penjuru dunia merupakan suatu keniscayaan. Perkembangan teknologi yang semakin canggih juga merupan salah faktor yang menjadikan budaya suatu negara bebas masuk ke belahan dunia manapun. Bukan dengan pemblokiran situs atau dengan pemsangan  firewall dalam sistem yang harus dilakukan namun yang seharusnya dilakukan yaitu dengan penguatan nilai – nilai agama, nilai – nilai luhur bangsa dan budaya – budaya bangsa. Dengan penguatan dari dalam akan menjadikan sebuah pertahanan semakin mantab dan dapat menyesuaikan dengan berbagai serangan yang ada. Penguatan tersebut juga akan menjadikan identitas bangsa kita semakin kuat dan tidak akan mudah dirasuki oleh budaya – budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya – budaya lokal. Dan yang lebih penting lagi akan membuat budaya kita sejajar dengan budaya – budaya asing sehingga budaya kita dapat berdiri sama tinggi dengan budaya – budaya negara maju lainnya. Prof. H.A.R tilaar juga berpendapat bahwa disinilah letak pentingnya peranan yang sangat strategis dari pendidikan nasional suatu bangsa yang tidak mengembangkan rasa terisolasi atau benci terhadap orang asing tetapi berdiri sama tinggi dan dapat bersaing dengan msyarakat di luarnya. 
Kerjasama antar negara – negara berkembang. Pentingnya kerjasama antar negara – negara berkembangn yang umumnya masih senasib dan seperjuangan merupakan modal yang sangat kuat dalam menghadapi globalisasi. Kerjasama tingkat regional seperti ASEAN merupakan suatu wadah yang sangat strategis guna menjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan antar sesama negara – negara yang sedang berkembang. Dengan situasi dan kondisi yang bisa dikatakan hampir sama maka kerjasama antar negara berkembang ini sangat dianjurkan sebagi modal dalam menghadapi globalisasi. Selain itu, kerjasama regional juga harus disertai dengan kerjasama dengan negara – negara maju sehingga transfer teknologi dan pengetahuan memungkinkan untuk terjadi. Seperti kita ketahui bersama negara – negara asia tenggara mempunyai modal sosial yang bisa dikatakan lebih unggul dari regional – regional lain. Sesama negara asia tenggara hampir bisa dikatakan tidak ada konflik antar negara yang berarti (Bandingkan misalnya dengan regional asia timur yang terjadi konflik antara Korsel dengan Korut, hubungan dingin antara Jepang dengan Tiongkok atau dengan regional asia selatan yang disertai dengan hubungan dingin antara India dengan Pakistan apalagi di regional timur tengah yang labih banyak terdapat konflik antar negara) merupakan sebuah modal sosial yang cukup ampuh dalam menjalin kerjasama regional.
Peningkatan kemampuan teknologi wajib hukumnya dalam era globalisasi. Hampir semua lini kehidupan masyarakat sudah terdapat teknologi di dalamnya dan sayangnya kebanyakan negara – negara berkembang mengalami keadaan yang sama yaitu keterbelakangan teknologi. Maka peningkata kemampuan dalam hal teknologi wajib untuk dilakukan. Kerjasama dengan negara – negara yang mempunyai keunggulan dalam hal teknologi harus dilakukan disertai dengan transfer pengetahuan dari negara tersebut ke SDM negara berkembang.  
Itulah beberapa langkah – langkah yang sayan rasa sangat relevan jika diterapkan di negara kita khususnya untuk menghadapi era globalisasi yang sudah didepan mata. Sudah selayaknya kita berfikir bahwa globalisasi merupakan suatu hal yang harus kita hadapi dan kita songsong bersama tentunya dengan modal – modal atau senjata yang cukup. Sehingga kita tidak hanya sekedar mampu bertahan namun juga mampu memanfaatkan globalisasi untuk memetik keuntungan yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Membangkitkan Budaya Menulis

Beberepa buku yang kita baca dalam satu bulan? Berapa tulisan yang telah kita tulis selama satu bulan? Pertanyaan itu mungkin akan sulit untuk dijawab oleh sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Budaya literasi (baca-tulis) mungkin belum begitu mendarah daging bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, hal itu juga didukung oleh bukti sejarah bahwa memang sejak dahulu kala bangsa ini memang terkesan jauh dari budaya literasi. Dalam Bukunya yang berjudul Indonesia Baru, Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Selanjutnya hal itu berlanjut dengan apa yang disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan. Jadi selama ini kita memang sudah terbiasa dengan budaya lisan sehingga tak heran jika banyak sekali kejadian – kejadian sejarah yang cukup penting ikut hilang bersama waktu karena minimnya catatan – catatan yang merekamnnya.
Apakah kita akan mempertahankan budaya lisan tersebut sehingga di masa depan akan banyak mosaik – mosaik sejarah kita yang hilang akibat minimnya catatan yang ada? Tentu jawabannya tidak. Terus apakah kita juga langsung meninggalkan budaya kita itu? Tentu jawabannya juga tidak. Budaya yang kirang baik tidak perlu diubah, namun cukup tanamnkan nilai – nilai di dalam budaya tersebut. Maka cara yang paling tepat adalah menanamkan dan membangkitkan minat dan kemampuan membaca dan menulis bagi masyarakat Indonesia. Menanamkan nilai nilai literasi harus ditanamkan sejak dini. Sehingga sejak kecil akan terbiasa dengan kegiatan membaca dan menulis.
Untuk membangkitkan budaya literasi khusunya dalam menulis, kita dapat memulai menanamkan dalam diri anak – anak kita khususnya yang sedang duduk di bangku pendidkan dasar dengan terlebih dahulu menelusuri esensi utama dari kgiatan menulis  tersebut.  Saya akan mencoba membahas satu persatu sehingga kita bisa menemukan titik pangkal dari minat menulis dari diri seorang anak. Pertama, kegiatan menulis entah itu fiksi maupun non fiksi mau tidak mau, suka tidak suka pasti memerlukan bahan untuk menyelesaikan tulisan tersebut. JK Rowling dengan Harry Potternya, Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Pramudya Ananta Toer dengan tetralogi Bumi Manusianya sampai Paulo Coelho dengan karya – karya penuh makananya walaupun karya mereka merupakan tulisan fiksi namun mereka sangat membutuhkan data untuk menunjang karya – karya mereka itu. Terlebih lagi jika tulisan itu merupakan sebuah tulisan non fiksi, kedudukan data menjadi lebih penting untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bermutu. Seorang penulis tidak akan bisa membuat tulisan yang bagus tanpa data yang menjadi acuan dari tulisan tersebut. Entah itu data apapun, intinya mereka (para penulis) pasti pernah melihat, mendengar, membaca, merasakan atau mengalami secara langsung sesuatu hal sehingga bisa digunakan untuk menyempurnakan tulisan mereka tersebut. Seorang bayi tidak akan pernah bisa bicara tanpa pernah mendengar sebuah bahasa, seseorang tidak akan pernah bisa menulis dengan baik tanpa adanya data atau informasi dari sumber – sumber tertentu.
Kedua, setelah kita lihat bahwa data merupakan hal penting dalam sebuah tulisan maka untuk mendapatkannya maka penelitian (riset) merupakan sebuah keniscayaan. Riset disini bisa bervariasi, mulai dari tingkat yang sederhana sampai yang tingkat tinggi, mulai dari menggunakan metode sesuka hati sampai menggunakan metodologi yang paling mutakhir. Intinya untuk mendapatkan data maka diperlukan sebuah penelitian atau riset. Riset untuk tulisan fiksi pastinya bisa dilakukan sesuka hati penulis, namun riset untuk tulisan non fiksi tentunya dibutuhkan sebuah metodologi yang benar – benar bisa dibuktikan kebenaran data yang didapatkan dari riset tersebut. Kita bisa mengajarkan sebuah metode riset yang paling sederhana kepeda anak – anak sehingga mereka akan dengan mudah bisa mengumpulkan data yang bisa menunjang dalam proyek tulisan mereka.
Ketiga, bisakah kita paksakan kepada anak untuk melakukan sebuah riset? Tentu jawabannya tidak, seseorang akan melakukan sebuah riset jika didasarkan pada rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu merupakan modal utama untuk melakuakn sebuah kegiatan pencarian data atau riset. Tanpa rasa ingin tahu pasti seseorang enggan melakukan riset. Rasa ingin tahu akan sesuatu hal yang sekiranya menarik menurut si anak pasti akan membantu sekali dalam menumbuhkan minat melakukan sebuah pencarian data guna menjawab rasa keingin tahuan tersebut. Seorang anak akan dengan senag hati melakukan pencarian jawaban apabila rasa ingin tahu mereka sudah tumbuh dalam diri mereka. Selanjutnya yang keempat dan yang terakhir adalah, bagaiamana membangkitkan rasa keingin tahuan seorang anak untuk sesuatu hal? Jawabannya ada pada sebuah frasa yang sering kita dengar yaitu meaningfull learning atau pembelajaran bermakna. Seorang siswa akan bersemangat dalam mempelajari sesuatu apabila pelajaran atau materi tersebut sangat berguna bagi dirinya, atau minimal materi tersebut terasa dengan dekat denga kehidupannya. Jadi inti dari membangkitkan minat menulis pada diri seorang anak adalah dengan terlebih dahulu menerapkan sebuah pembelajaran yang bermakna bagi si anak tersebut. Jangan bermimpi untuk membuat mereka bersemangat dalam belajar dan mengetahui sesuatu tanpa membuat pembelajaran yang dekat dengan mereka, pembelajaran yang membumi dalam diri mereka.
Jadi jika ditarik kesimpulan dapat kita pahami bahwa budaya menulis khususnya pada seorang anak berujung pangkal dari penerapan sebuah pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran yang membumi bukan pembelajaran yang ada di awang – awang sehingga bukannya memupuk rasa ingin tahu mereka namun justru malah membuat mereka semakin merasa jauh dengan materi pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya sebuah pembelajaran yang bermakana, sulit rasanya membangkitkan rasa ingin tahu seorang siswa, tanpa adanya rasa ingin tahu pasti kegiatan riset juga tidak akan dapat dilakukan, tanpa riset tidak akan pernah ada data atau informasi yang dapat dikumpulkan, dan tanpa data atau informasi jangan harap akan ada tulisan – tulisan yang bermutu yang dihasilkan, tanpa tulisan – tulisan maka juga jangan bermimpi untuk membangkitkan budaya literasi di Negeri ini.

Mengambalikan Pendidikan Kepada Masyarakat

Setelah 69 tahun merdeka dunia pendidikan kita seolah masih jauh dari harapan. Pegangan pokok pendidikan Nasional seolah masih abu – abu dan kebijakan – kebijakan masih terkesan tumpang tindih. Puluhan tahun sistem pembelajaran di Indonesia terjebak dalam sistem pmbelajaran yang dapat dikatakan anti realitas.  Dari segi kuantitas sudah banyak anak – anak Indonesia yang mengeyam bangku pendidikan, sudah banyak pula beridri berbagai universitas yang mengajarkan berbagai bidang ilmu namun jika dilihat dari sisi kualitas , keadaan nya masih jauh dari harapan. Fakta menunjukan banyak potensi – potensi yang masih belum tergarap oleh tangan – tangan anak bangsa sehingga hal yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa ini justru berbalik menjadi masalah yang membebani pemerintah. Ambil contoh bidang pertanian, jutaan hektar lahan pertanian di Indonesia merupakan aset yang sangat bernilai. Jutaan petani menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian, namun karena kurangnya tangan – tangan ahli yang mengelola lahan – lahan pertanian tersebut membuat bidang pertanian tidak berkembang dan justru keadaannya semakin lama semakin memprihatinkan. Demikian pula dengan sektor UMKM, sektor yang merupakan andalan dalam perekonomian masih banyak yang belum tergarap baik. Banyak anak – anak muda yang enggan terjun menjadi enterpreneur sehingga sektor ini belum berkembang secara maksimal.
Jika ditarik mundur sebenarnya sudah banyak sekali berdiri fakultas pertanian di berbagai universitas, dan pelajaran pendidikan ekonomi juga sudah mulai dipelajari sejak sekolah menengah, namun kenapa sektor peranian dan UMKM masih belum berkembang? Jawabananya adalah karena sistem pembelajaran di sekolah – sekolah kita yang anti realitas. Selama ini guru atau dosen mengajarkan kepada anak didiknya berupa teori – teori yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dipelajari. Anak didik dipaksa menghafalkan teori – teori tanpa berusaha mengaitkan dengan realitas kehidupan nyata yang terjadi sekarang. Anak didik kurang diberikan arahan untuk belajar dari kehidupan nyata sehingga mereka hanya pintar menghafalkan teori – teori  usang yang sebagian besar sudah tidak relevan untuk diterapkan. Teori teori khususnya dalam ilmu – ilmu sosial terlahir dari realitas yang terjadi kemudian diabstraksi oleh ilmuwan sehingga melahirkan teori yang sesuai dengan zamannya. Jadi teori khusunya teori ilmu sosial merupakan sesuatu hal yang dinamis dan selalu mengikuti perkembangan sosial yang terjadi pada waktu itu. Jika anak didik dalam pembelajaran hanya didesain untuk menghafalkan teori akibatnya setelah mereka lulus akan mengalami suatu kejutan dengan tidak sesuainya kehidupan nyata yang ada dihadapannya dengan berbagai macam teori yang selama ini mereka pelajari. Akibatnya banyak lulusan sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi yang tidak bisa berbuat apa – apa, tidak bisa mengaplikasikan teori – teori yang selama ini mereka hafalkan dan akhirnya hanya menjadi penonton dalam ketatnya persaingan di dunia nyata.
Ada dua faktor yang menyebabkan sebuah pembelajaran yang anti realitas di sekolah – sekolah. Pertama adalah faktor guru. Guru merupakan faktor kunci dalam setiap pembelajaran di sekolah, walaupun sekarang sudah didengung – dengungkan pemblelajaran yang berpusat pada siswa namun peran guru masih sangat penting dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Guru seharusnya diisi oleh manusia – manusia yang luhur yang benar – benar mengabdikan dirinya untuk kemajuan anak didik mereka. Tugas guru yang sebenarnya bukanlah sekedar mengisi otak – otak siswa dengan pengetahuan yang dia ajarkan, namun tugas guru yang sesungguhnya adalah membangun pengetahuan dalam diri siswa sesuai dengan karakteristik, minat dan bakat yang ada dalam diri siswa. Pengetahuan yang guru ajarkan kepada anak didik belum tentu sesuai dengan apa yang menjadi minat dan bakat mereka, belum tentu mampu menjawab persoalan – persoalan yang mereka hadapi, maka yang paling bijak adalah menggunakan prisnsip kontruktivistik guna menciptakan sebuah pengetahuan yang benar – benar sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, sesuai dengan apa yang mereka minati. Tidak ada obat yang cocok untuk semua penyakit, dan tidak ada solusi yang bisa digunakan untuk menyelesaikan semua masalah, begitu pula dengan pengetahuan, semua harus diajarkan dan dikembangkan sesuai dengan apa kebutuhan anak didik.
Kedua adalah faktor sistem pendidikan yang ada saat ini. Faktor sistem pendidikan saat ini masih cenderung bersifat sentralistik. Sentralistik artinya segala macam keperluan mengenai materi – materi pelajaran sudah ditentukan oleh pusat yang dimanifestasikan dalam sebuah kurikulum dan pemaksaan satu bentuk ujian akhir berupa ujian nasional. Karena praktek sentralisasi tersebut telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia – manusia indonesia yang tanpa inisiatif dan generasi muda yang Indonesia yang mempunyai watak pegawai negeri yang tidak berinisiatif dan hanya bergerak karena petunjuk dari atasan (HAAR Tilaar, 2009). Disadari atau tidak minimnya inovasi dan daya kreativitas masyarakat kita merupakan hasil dari produk sebuah sistem pendidikan yang yang bersifat sentralistik. Warisan rezim orde baru yang terlalu lama berkuasa membuat sentralistik sudah terlanjur mendarah daging dalam setian aturan pemerintah termasuk di dalam dunia pendidikan. Masyarakat kita yang beraneka ragam etnis, budaya, kepercayaan, dsb sudah bisa dipastikan tidak akan bisa diakomodir dengan sebuah sistem yang (dianggap) mampu untuk diterapkan pada seluruh masyarakat Indonesia. Keseragaman bukanlah solusi, keseragaman bukanlah segalanya, namun persatuan di atas sebuah kebinekaan merupakan cara yang paling tepat guna mengembangkan masyarakat Indonesia ini.
Untuk mengahdapi tantangan dunia yang semakin berat dan kompleks sudah dipastikan banyak membutuhkan manusia – manusia yang kreatif dan inovatif di bidang masing – masing. Manusia yang mampu mengembangkan potensi – potensi yang ada di Negara ini. Dengan kemampuan tersebut Indonesia akan menjadi negara yang mampu berdaulat penuh di segala bidang. Negara yang sejak dahulu terkenal dengan hasil dari bidang agraris harus mampu mengembalikan predikat tersebut. Impor beras, bawang merah, jagung, kedelai dsb tidak perlu terjadi jika pembenahan dalam berbagai bidang khususnya pendidikan segera dilakukan.  Pembangunan manusia yang berbasis dengan minat dan potensi lokal akan mampu menghasilkan manusia – manusia yang mampu mengembangkan potensi daerah sehingga potensi – potensi di daerah dapat dimanfaatkan secara maksimal.