Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 16 Juli 2016

Membangkitkan Budaya Menulis

Beberepa buku yang kita baca dalam satu bulan? Berapa tulisan yang telah kita tulis selama satu bulan? Pertanyaan itu mungkin akan sulit untuk dijawab oleh sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Budaya literasi (baca-tulis) mungkin belum begitu mendarah daging bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, hal itu juga didukung oleh bukti sejarah bahwa memang sejak dahulu kala bangsa ini memang terkesan jauh dari budaya literasi. Dalam Bukunya yang berjudul Indonesia Baru, Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Selanjutnya hal itu berlanjut dengan apa yang disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan. Jadi selama ini kita memang sudah terbiasa dengan budaya lisan sehingga tak heran jika banyak sekali kejadian – kejadian sejarah yang cukup penting ikut hilang bersama waktu karena minimnya catatan – catatan yang merekamnnya.
Apakah kita akan mempertahankan budaya lisan tersebut sehingga di masa depan akan banyak mosaik – mosaik sejarah kita yang hilang akibat minimnya catatan yang ada? Tentu jawabannya tidak. Terus apakah kita juga langsung meninggalkan budaya kita itu? Tentu jawabannya juga tidak. Budaya yang kirang baik tidak perlu diubah, namun cukup tanamnkan nilai – nilai di dalam budaya tersebut. Maka cara yang paling tepat adalah menanamkan dan membangkitkan minat dan kemampuan membaca dan menulis bagi masyarakat Indonesia. Menanamkan nilai nilai literasi harus ditanamkan sejak dini. Sehingga sejak kecil akan terbiasa dengan kegiatan membaca dan menulis.
Untuk membangkitkan budaya literasi khusunya dalam menulis, kita dapat memulai menanamkan dalam diri anak – anak kita khususnya yang sedang duduk di bangku pendidkan dasar dengan terlebih dahulu menelusuri esensi utama dari kgiatan menulis  tersebut.  Saya akan mencoba membahas satu persatu sehingga kita bisa menemukan titik pangkal dari minat menulis dari diri seorang anak. Pertama, kegiatan menulis entah itu fiksi maupun non fiksi mau tidak mau, suka tidak suka pasti memerlukan bahan untuk menyelesaikan tulisan tersebut. JK Rowling dengan Harry Potternya, Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Pramudya Ananta Toer dengan tetralogi Bumi Manusianya sampai Paulo Coelho dengan karya – karya penuh makananya walaupun karya mereka merupakan tulisan fiksi namun mereka sangat membutuhkan data untuk menunjang karya – karya mereka itu. Terlebih lagi jika tulisan itu merupakan sebuah tulisan non fiksi, kedudukan data menjadi lebih penting untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bermutu. Seorang penulis tidak akan bisa membuat tulisan yang bagus tanpa data yang menjadi acuan dari tulisan tersebut. Entah itu data apapun, intinya mereka (para penulis) pasti pernah melihat, mendengar, membaca, merasakan atau mengalami secara langsung sesuatu hal sehingga bisa digunakan untuk menyempurnakan tulisan mereka tersebut. Seorang bayi tidak akan pernah bisa bicara tanpa pernah mendengar sebuah bahasa, seseorang tidak akan pernah bisa menulis dengan baik tanpa adanya data atau informasi dari sumber – sumber tertentu.
Kedua, setelah kita lihat bahwa data merupakan hal penting dalam sebuah tulisan maka untuk mendapatkannya maka penelitian (riset) merupakan sebuah keniscayaan. Riset disini bisa bervariasi, mulai dari tingkat yang sederhana sampai yang tingkat tinggi, mulai dari menggunakan metode sesuka hati sampai menggunakan metodologi yang paling mutakhir. Intinya untuk mendapatkan data maka diperlukan sebuah penelitian atau riset. Riset untuk tulisan fiksi pastinya bisa dilakukan sesuka hati penulis, namun riset untuk tulisan non fiksi tentunya dibutuhkan sebuah metodologi yang benar – benar bisa dibuktikan kebenaran data yang didapatkan dari riset tersebut. Kita bisa mengajarkan sebuah metode riset yang paling sederhana kepeda anak – anak sehingga mereka akan dengan mudah bisa mengumpulkan data yang bisa menunjang dalam proyek tulisan mereka.
Ketiga, bisakah kita paksakan kepada anak untuk melakukan sebuah riset? Tentu jawabannya tidak, seseorang akan melakukan sebuah riset jika didasarkan pada rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu merupakan modal utama untuk melakuakn sebuah kegiatan pencarian data atau riset. Tanpa rasa ingin tahu pasti seseorang enggan melakukan riset. Rasa ingin tahu akan sesuatu hal yang sekiranya menarik menurut si anak pasti akan membantu sekali dalam menumbuhkan minat melakukan sebuah pencarian data guna menjawab rasa keingin tahuan tersebut. Seorang anak akan dengan senag hati melakukan pencarian jawaban apabila rasa ingin tahu mereka sudah tumbuh dalam diri mereka. Selanjutnya yang keempat dan yang terakhir adalah, bagaiamana membangkitkan rasa keingin tahuan seorang anak untuk sesuatu hal? Jawabannya ada pada sebuah frasa yang sering kita dengar yaitu meaningfull learning atau pembelajaran bermakna. Seorang siswa akan bersemangat dalam mempelajari sesuatu apabila pelajaran atau materi tersebut sangat berguna bagi dirinya, atau minimal materi tersebut terasa dengan dekat denga kehidupannya. Jadi inti dari membangkitkan minat menulis pada diri seorang anak adalah dengan terlebih dahulu menerapkan sebuah pembelajaran yang bermakna bagi si anak tersebut. Jangan bermimpi untuk membuat mereka bersemangat dalam belajar dan mengetahui sesuatu tanpa membuat pembelajaran yang dekat dengan mereka, pembelajaran yang membumi dalam diri mereka.
Jadi jika ditarik kesimpulan dapat kita pahami bahwa budaya menulis khususnya pada seorang anak berujung pangkal dari penerapan sebuah pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran yang membumi bukan pembelajaran yang ada di awang – awang sehingga bukannya memupuk rasa ingin tahu mereka namun justru malah membuat mereka semakin merasa jauh dengan materi pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya sebuah pembelajaran yang bermakana, sulit rasanya membangkitkan rasa ingin tahu seorang siswa, tanpa adanya rasa ingin tahu pasti kegiatan riset juga tidak akan dapat dilakukan, tanpa riset tidak akan pernah ada data atau informasi yang dapat dikumpulkan, dan tanpa data atau informasi jangan harap akan ada tulisan – tulisan yang bermutu yang dihasilkan, tanpa tulisan – tulisan maka juga jangan bermimpi untuk membangkitkan budaya literasi di Negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar