Wikipedia

Hasil penelusuran

Awal sebuah harapan

Dengan Pendidikan, Sebuah Harapan Akan Selalu Ada.

Sebuah langkah kecil

Sebuah langkah kecil yang akan mampu merubah sebuah bangsa.

Untuk sebuah tujuan mulia

Indonesia Jaya...!!!!!!!.

Senin, 27 April 2015

Belajar Dari Zhu Rongji

Tiongkok, sebuah negara yang terus melaju pesat. Tidak bisa dipungkiri Tiongkok sekarang telah jauh berbeda dengan Tiongkok 30 tahun yang lalu. Berbagai revolusi telah merubah wajah Negara tersebut dari sebuah Negara miskin menjadi sebuah Negara dengan kemajuan ekonomi terbaik di dunia. Sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok telah bermetamorfosis dari sebuah Negara tertutup menjadi Negara yang sangat terbuka. Kecuali sistem politik, hampir semua lini kehidupan dirombak total. Konektivitas dengan Dunia luar dibuka seluas luasnya. Jika meminjam istilah Kenichi Ohmae, 4C (Communication, Capital, Corporations, and Consumer) menjadi sangat bebas keluar masuk negeri tersebut. Namun kunci sukses dari kemajuan pesat yang diraih Tiongkok saat ini tidak lepas dari peran seorang tokoh lain yaitu Zhu Rongji Perdana Menteri Tiongkok yang menjabat tahun 1998 – 2003. Tepatnya pada tahun 1998 dia memulai sebuah reformasi untuk menumpas penyakit – penyakit yang selama ini dianggap menghambat kemajuan Tiongkok.
Penyakit pertama yang menajdi sasaran Zhu adalah korupsi. Korupsi di Tiongkok waktu itu ibarat penyakit parah yang kurang lebih sama dengan yang dialami Indonesia saat ini. Dengan dibukanya kran ekonomi dan diberikannya kebebasan daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya masing – masing membuat korupsi di setiap wilayah terjadi begitu masive. Suap telah menjadi penyakit yang cukup parah menjangkiti sebagian oknum birokrat di Negara tersebut. Zhu segera membuat terobosan dengan melakukan revolusi di sektor perundangan undangan dan standar – standar legal yang kuat. Koruptor dihukum seberat – beratnya dan korupsi dikategorikan dalam kejahatan luar biasa. Dalam menerapkan langkah tersebut, hampir bisa dipastikan Zhu akan menghadapi perlawanan dari koruptor yang merasa dirugikan atau terancam, namun Zhu dengan tegas dan berani menjadi penglima paling depan dalam perang melawan korupsi di Negeri tersebut.
Penyakit kedua yang menjadi sasaran reformasi Zhu yaitu lambatnya birokrasi. Birokrasi yang terlalu panjang dianggap Zhu sangat tidak efisien, birokrasi yang teralu panjang sangat menghambat program – program yang akan dilakukan. Selain itu, walaupun kran investasi sudah dibuka sejak lama, namun dikarenakan lambatnya alur birokrasi terutama dalam proses perizinan, membuat perusahaan – perusahaan baik swasta Nasional maupun asing menjadi ragu untuk berinvestasi di Negara tersebut. Dengan wilayah yang sangat luas, alur birokrasi yang berbelit – belit sangat tidak efisien. Otonomi masing – masing daerah dilakukan sehingga daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan ekonomi. Zhu memamgkas alur birokrasi yang berbelit – belit tersebut sehingga eksekusi program atau perizinan dapat dengan cepat dilaksanakan. Pemangkasan birokrasi seperti yang dilakukan Zhu memang sulit dilakukan namun bukan berarti tidak bisa. Modal utama adalah pada komitmen dan keberanian pemimpin serta kerja sama dengan jajaran – jajaran dari pusat sampai daerah.
Penyakit ketiga yang menjadi target Zhu selanjutnya adalah pembersihan perusahaan – perusahaan Nasional yang dianggap sudah tidak menguntungkan. Selama bertahun – tahun, perusahaan – perusahaan yang sudah tidak produktif tersebut hanya menjadi beban Negara. Keuangan Negara dari tahun ke tahun terus tersedot untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan – perusahaan sakit tersebut. Zhu bertindak tegas, perusahaan – perusahaan sakit tersebut ditendang dari kepemilikan Nasional. Ketegasan Zhu dalam dalam kebijakan ini tidak lepas dari makin banyaknya uang Negara yang terbuang percuma untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan – perusahaan sakit tersebut. Suntikan dana dari pemerintah sangat tidak sebanding dengan profit yang didapat dari perusahaan – perusahaan tersebut atau bahkan pemerintah tidak mendapatkan profit sama sekali. Perusahaan – perusahaan tersebut diberi pilihan jika ingin mendapatkan dana silahkan mencari dari investor – investor yang bersedia berinvestasi pada perusahaan tersebut. Perusahaan – perusahaan tersebut dipaksa untuk memperbaiki diri mereka sendiri sehingga bisa untuk menarik investor ke dalamnnya dan jika ada perusahaan yang tidak mampu memperbaiki diri sehingga tidak ada investor yang meliriknya, maka pemerintah akan membiarkan perusahaan tersebut tutup. Selama beberapa dekade perekonomian Tiongkok dapat dikatakan sebuah perekonomian sangkar burung. Dalam perekonomian sangkar burung tersebut, perusahaan – perusahaan Negara bebas berkicau seindah mungkin, namun tetap dibelenggu pembatasan yang diberlakukan Negara. Di tangan Zhu, sangkar burung tersebut dihancurkan, Zhu berkeyakinan jika sangkar itu dihancurkan brurung tidak akan pergi dari sangkar namun justru akan menarik burung – burung lain dari luar (Kenichi Ohmae, 2005).
Jika dilihat ketiga sasaran reformasi Zhu Rongji tersebut sangat mirip dengan penyakit yang dihadapi bangsa Indonesia. Korupsi, lambatnya birokrasi dan tidak efisiennya BUMN membuat menjadi penghambat dalam kemajuan Indonesia saat ini. Belajar dari pengalaman Tiongkok mengatasi penyakit – penyakit tersebut, semuanya tidak lepas dari ketegasan seorang pemimpin. Zhu Rongji yang seorang petugas partai komunis dalam memberantas penyakit – penyakit tersebut pasti akan berbenturan orang – orang yang merasa terancam dengan langkah Zhu tersebut. Namun Zhu tidak gentar, dia berkeyakinan selama hal yang dia perjuangkan benar – benar untuk kemajuan bangsa dan Negara pasti dukungan akan terus berdatangan. Dan hal tersebut terbukti, walaupun belum seenuhnya hilang namun penyakit – penyakit tersebut dapat ditekan serendah mungkin dan membuat Tiongkok sekarang berubah menjadi Negara maju.
Indonesia bisa belajar dari cara Zhu Rongji melakukan reformasi untuk memberantas penyakit – penyakit yang dapat menjadi hambatan kemajuan sebuah Negara. Ketegasan seorang pemimpin mutlak diperlukan karena pemimpin merupakan nahkoda bagi kapal besar yang dia bawa. Idealnya, seorang  pemimpin (Presiden) hanya tunduk pada rakyat dan konstitusi. Jika kebijakan yang dia buat benar – benar untuk kepentingan rakyat, walaupun bertentangan dengan partainya sendiri sekalipun, kebijakan tersebut wajib untuk terus diperjuangkan. 

KAA Dan Radikalisme


“Conflict comes not from variety of skins, nor from variety of religion, but from variety of desires."
Petikan kalimat diatas merupakan petikan sebuah pidato luar biasa yang dibawakan Bung Karno dalam pembukaan Konferensi Asia – Afrika pertama 60 Tahun silam. Walaupun sudah disampaikan 60 tahun yang lalu, namun makna dari petikan pidato tersebut masih sangat relevan dengan kehidupan dunia saat ini. 60 tahun yang lalu saat Bung Karno membawakan pidato tersebut, sebagian besar Negara Asia dan Afrika masih dihadapkan dengan musuh yang telah menggerogoti Bangsanya selama ratusan tahun yaitu kolonialisme. Namun sekarang, setelah “musuh bersama” tersebut berhasil dikalahkan, sebagian besar Negara Asia dan Afrika dihadapkan oleh sebuah musuh baru yang jauh lebih serius dan lebih berbahaya yaitu radikalisme. Radikalisme yang mungkin 60 tahun silam belum dianggap sebuah hal yang berbahaya, namun sekarang sudah menjelma menjadi sebuah monster yang siap menghacurkan sebuah bangsa. Saat ini Negara – Negara di Asia dan Afrika terlihat seperti lahan yang sangat subru untuk berkembangnya kelompok – kelompok radikalisme. Hampir semua Negara peserta KAA tahun ini menjadi korban dari kekejaman radikalisme, Boko Haram dan Ansaru di Nigeria, Anshar Al Sharia di tunisia, Al Qaeda di Pakistan dan Afghanistan, Al Shabaab di Somalia dan yang paling menarik banyak perhatian adalah berkembangnya Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Bahkan di beberapa Negara, berbagai macam kelompok – kelompok radikal tersebut sudah berhasil membuat kekacauan dan kerugian yang sangat luar biasa. Bagitu luas daya rusaknya sebuah gerakan radikalisme di berbagai Negara saat ini menjadikan isu ini sangat penting untuk segera dicarikan sebuah solusi jangka panjang dan permanen untuk menanggulangi dan menghentikan segala bentuk radikalisme yang terjadi saat ini.
Radikalisme saat ini bergerak seperti halnya arus globalisasi yang terjadi saat ini. Radikalisme saat ini tidak hanya berdampak pada Negara dimana mereka lahir namun sudah menembus sekat – sekat antar Negara bahkan Benua. Untuk memperkuat eksistensi mereka, gerakan radikalisme terus berusaha melebarkan sayap mereka ke berbagai penjuru Dunia. Mereka berusaha mencari dukungan baik berupa dukungan materi maupun anggota dari berbagai penjuru Dunia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi serta kemajuan transportasi yang semakin mutakhir. Contoh nyata adalah pola pergerakan NIIS yang menggunakan kemajuan teknologi untuk menyebar luaskan ajaran mereka ke seantero Dunia dan mereka berhasil menarik perhatian orang – orang untuk bergabung dengan gerakan tersebut tak terkecuali Indonesia. Apakah gerakan-gerakan tersebut murni karena faktor kepercayaan (agama) yang berbeda? tentu jawabannya tidak sesederhana itu. Jika dilihat dari contoh tindakan yang mereka lakukan selama ini, ambil contoh NIIS, tindakan – tindakan mereka selama ini sangat jauh dari nilai – nilai keislaman yang sesungguhnya. Cendekiawan islam dari berbagai penjuru Dunia sepakat untuk menyatakan pendapat   bahwa NIIS sangat jauh dari nilai – nilai islam yang sesungguhnya.
Melihat begitu luasnya dampak dan perkembangan dari gerakan – gerakan radikalisme tersebut, maka masalah tersebut tidak akan pernah berhasil jika suatu Negara melakukan tindakan penanggulangan dan pencegahan tanpa melibatkan Negara lain. Dalam penanganan masalah ini, kerjasama antar Negara merupakan sebuah keniscayaan karena pergerakan mereka sudah menembus sekat – sekat antara Negara di Dunia. Konferensi Asia – Afrika yang berlangsung saat ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk mencari solusi dari permasalahan radikalisme tersebut. Konsensus antar Negara – Negara Asia dan Afrika sangat dibutuhkan dalam mencari solusi jangka panjang dari permasalahan tersebut. Semangat KAA pertama 60 tahun yang lalu dapat dijadikan sumber inspirasi bersama. 60 tahun lalu ketika mayoritas Negara – Negara Asia dan Afrika juga dihadapkan dengan keadaan yang hampir sama yaitu dihadapkan dengan keharusan untuk memerangi musuh bersama yaitu kolonialisme, pada KAA tahun ini dengan keadaan yang hampir sama mayoritas Negara – Negara Asia dan Afrika juga sedang dihadapkan oleh musuh bersama yang tidak kalah berbahayanya dengan kolonialisme yaitu radikalisme. Indonesia sebagai tuan ruma KAA serta sebagai sebuah Negara dengan populasi muslim terbesar di Dunia mempunyai peran sentral dalam penanganan isu ini. Indonesia dengan mayoritas muslim terbesar sampai detik ini dianggap cukup mampu menanggulangi dampak dari kelompok – kelompok radikalisme saat ini. Indonesia dengan islam “keindonesiannya” mempunyai karakteristik yang sangat berbeda. Penananamn nilai – nilai kearifan lokal membuat islam di indonesia menjadi lebih toleran dan moderat masih merupakan cara yang sangat ampuh untuk menangkal kelompok – kelompok radikal tersebut. Indonesia saya rasa sudah sangat pantas untuk menjadi roda penggerak Negara – Negara Asia Afrika dalam penanganan isu radikalisme saat ini.
Petikan pidato Bung Karno yang saya kutip di depan tadi sekali lagi masih sangat relevan jika diterapkan pada keadaan Negara – Negara Asia dan Afrika saat ini. Jika 60 tahun yang lalu Bung Karno mampu membakar semangat peserta KAA untuk lepas dari belenggu kolonialisme, Indonesia saat ini juga harus mampu membakar semangat Negara – Negara Asia Afrika untuk bergerak bersama menangkal gerakan – gerakan radikalisme. Sekali lagi, Indonesia sebagi tuan rumah KAA saat ini harus mampu menjadi inspirasi untuk Negara – Negara Asia dan Afrika pada khususnya. Spirit KAA pertama 60 tahun yang lalu harus benar – benar di resapi. Dengan KAA tahun 2015 ini semoga mampu melahirkan sebuah solusi jangka panjang tentang berbagai permasalahan bangsa Asia dan Afrika khususnya mengenai radikalisme.