Wikipedia

Hasil penelusuran

Awal sebuah harapan

Dengan Pendidikan, Sebuah Harapan Akan Selalu Ada.

Sebuah langkah kecil

Sebuah langkah kecil yang akan mampu merubah sebuah bangsa.

Untuk sebuah tujuan mulia

Indonesia Jaya...!!!!!!!.

Sabtu, 16 Juli 2016

Meyongsong Globalisasi

Globalisasi, sebuah kata yang tampaknya menjadi semakin sering kita dengar akhir – akhir ini. Saya yakin sebagian masyarakat juga sudah cukup faham mengenai apa sebenarnya arti dari kata tersebut. Ya, globalisasi ibarat kata sebagai hilangnya sekat – sekat antar Negara. Dunia menjadi sebuah panggung baru dimana masyarakat di berbagai dunia akan bersaing dalam panggung bersama. Globalisasi diakuai atau tidak merupakan sebuah produk dari Negara maju, sebuah “mahzab” dari Negara barat. Namun apakah kita sebagai negara yang berkembang mampu untuk sembunyi dari hal tersebut? Menurut saya jawaban yang paling tepat yaitu tidak. Jika kita menutup diri dan contoh nyata dapat kita lihat dari negara korea Utara, bagaimana Negara tersebut sekarang berjalan dengan sangat pincang dan masyarakatnya hidup dibawah garis kemiskinan dikarenakan penguasanya sangat menutup diri dengan pergaulan internasional. Jadi  kita tidak harus sembunyi atau menutup diri dari globalisasi. Suka atau tidak suka jika kita ingin hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang madani, yang demokratis dan yang dapat sejajar dengan masyarakat internasional maka kita harus menghadapi globalisasi dengan cara – cara yang elegan dan terencana sehingga kita sebagai Negara berkembang mampu bertahan dan mampu mengambil peluang untuk keuntungan Negara dari globalisasi tersebut.
Pertanyaan terbesar sekarang adalah bagaimana cara kita untuk menghadapi globalisasi tersebut? Apa langkah yang harus dilakukan negara agar kita mampu memanfaatkan globalisasi untuk memetik keuntungan yang sebesar – besarnya? Prof. H.A.R Tilaar dalam bukunya Membenahi Pendidikan Nasional mengungkapkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh Negara berkembangn untuk menghadai gempuran arus globalisasi dan lebih jauhnya dapat mengambil peluang yang sebanyak – banyaknya untuk kepentingan Negara. Langkah – langkah tersebut antara lain :
 Mempersiapkan masyarakat dan anggota masyarakat melalui pendidikan yang lebih baik. Dari langkah pertama dia atas kata kuncinya ada pada pembenahan kualitas pendidikan. Ya, pendidikan merupakan cara yang paling tepat untuk menyiapkan manusia – manusia yang mampu kompetitif sesuai dengan bidang masing – masing. Pendidikan jangan kita artikan sempit hanya ada dalam sekolah, pendidikan merupakan sebuah “rumah besar” yang di dalamnya terdapat barbagai macam jenis yang beraneka ragam. Dalam hal ini pemerintah mengambil peran kunci, arah pendidikan nasional harus jelas serta program – program strategis dalam pendidikan Nasional harus benar – benar diutamakan. Yang tidak kalah penting adalah dalam hal pengawasan, banyak sekali program yang bagus namun mandek dalam pelaksanaan. Terlalu lama dalam eksekusi program atau penyelewengan dalam alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang harus segera diselesaikan. Kebijakan – kebijakan yang tepat tanpa memasung kebebasan akademik para indan pendidikan merupakan hal mutlak harus dilaksanakan. 
Menjadikan tradisi, budaya dan seni sebagai unsur – unsur penting dalam pembinaan warga Negara yang kreatif, produktif, dan penuh percaya diri yang akhirnya dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi yang berpegang pada nilai – nilai di atas. Akselerasi pertumbuhan ekonomi memang sangat bagus di era globalisasi ini, namun akselerasi pertumbuhan ekonomi tanpa didasari nilai – nilai luhur di dalamnya hanya akan membuat pertumbuhan itu tergerogoti dengan praktik – praktik yang sangat merugikan bangsa. Seperti kita ketahi bersama akselerasi pertumbuhan ekonomi kita selama era orde baru cukup menjanjikan. Namun karena tidak didasarkan pada nilai – nilai luhur bangsa kita, pertumbuhan ekonomi kita selama 3 dekade juga disertai pertumbuhan bdaya KKN yang semakin merajalela. Dengan memegang teguh nilai – nilai luhur bangsa dalam setiap perjuangan memajukan ekonomi akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi semakin mantab dan tanpa disertai dengan praktik – praktik kotor yang suatu saat justru akan merobohkan struktur ekonomi suatu bangsa.
Perlu dikembangkannya sense of identity. Seperti yang telah dikekmukanan di atas, pertumbuhan ekonomi wajib sisertai dengan penguatan nilai – nilai budaya luhur bangsa. Selain itu, penguatan nilai – nilai dan budaya bangsa wajib untuk diperkuat dan dijadikan pegangan setiap masyarakat. Dalam era yang tanpa batas, gempuran budaya dari berbagai penjuru dunia merupakan suatu keniscayaan. Perkembangan teknologi yang semakin canggih juga merupan salah faktor yang menjadikan budaya suatu negara bebas masuk ke belahan dunia manapun. Bukan dengan pemblokiran situs atau dengan pemsangan  firewall dalam sistem yang harus dilakukan namun yang seharusnya dilakukan yaitu dengan penguatan nilai – nilai agama, nilai – nilai luhur bangsa dan budaya – budaya bangsa. Dengan penguatan dari dalam akan menjadikan sebuah pertahanan semakin mantab dan dapat menyesuaikan dengan berbagai serangan yang ada. Penguatan tersebut juga akan menjadikan identitas bangsa kita semakin kuat dan tidak akan mudah dirasuki oleh budaya – budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya – budaya lokal. Dan yang lebih penting lagi akan membuat budaya kita sejajar dengan budaya – budaya asing sehingga budaya kita dapat berdiri sama tinggi dengan budaya – budaya negara maju lainnya. Prof. H.A.R tilaar juga berpendapat bahwa disinilah letak pentingnya peranan yang sangat strategis dari pendidikan nasional suatu bangsa yang tidak mengembangkan rasa terisolasi atau benci terhadap orang asing tetapi berdiri sama tinggi dan dapat bersaing dengan msyarakat di luarnya. 
Kerjasama antar negara – negara berkembang. Pentingnya kerjasama antar negara – negara berkembangn yang umumnya masih senasib dan seperjuangan merupakan modal yang sangat kuat dalam menghadapi globalisasi. Kerjasama tingkat regional seperti ASEAN merupakan suatu wadah yang sangat strategis guna menjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan antar sesama negara – negara yang sedang berkembang. Dengan situasi dan kondisi yang bisa dikatakan hampir sama maka kerjasama antar negara berkembang ini sangat dianjurkan sebagi modal dalam menghadapi globalisasi. Selain itu, kerjasama regional juga harus disertai dengan kerjasama dengan negara – negara maju sehingga transfer teknologi dan pengetahuan memungkinkan untuk terjadi. Seperti kita ketahui bersama negara – negara asia tenggara mempunyai modal sosial yang bisa dikatakan lebih unggul dari regional – regional lain. Sesama negara asia tenggara hampir bisa dikatakan tidak ada konflik antar negara yang berarti (Bandingkan misalnya dengan regional asia timur yang terjadi konflik antara Korsel dengan Korut, hubungan dingin antara Jepang dengan Tiongkok atau dengan regional asia selatan yang disertai dengan hubungan dingin antara India dengan Pakistan apalagi di regional timur tengah yang labih banyak terdapat konflik antar negara) merupakan sebuah modal sosial yang cukup ampuh dalam menjalin kerjasama regional.
Peningkatan kemampuan teknologi wajib hukumnya dalam era globalisasi. Hampir semua lini kehidupan masyarakat sudah terdapat teknologi di dalamnya dan sayangnya kebanyakan negara – negara berkembang mengalami keadaan yang sama yaitu keterbelakangan teknologi. Maka peningkata kemampuan dalam hal teknologi wajib untuk dilakukan. Kerjasama dengan negara – negara yang mempunyai keunggulan dalam hal teknologi harus dilakukan disertai dengan transfer pengetahuan dari negara tersebut ke SDM negara berkembang.  
Itulah beberapa langkah – langkah yang sayan rasa sangat relevan jika diterapkan di negara kita khususnya untuk menghadapi era globalisasi yang sudah didepan mata. Sudah selayaknya kita berfikir bahwa globalisasi merupakan suatu hal yang harus kita hadapi dan kita songsong bersama tentunya dengan modal – modal atau senjata yang cukup. Sehingga kita tidak hanya sekedar mampu bertahan namun juga mampu memanfaatkan globalisasi untuk memetik keuntungan yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Membangkitkan Budaya Menulis

Beberepa buku yang kita baca dalam satu bulan? Berapa tulisan yang telah kita tulis selama satu bulan? Pertanyaan itu mungkin akan sulit untuk dijawab oleh sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Budaya literasi (baca-tulis) mungkin belum begitu mendarah daging bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, hal itu juga didukung oleh bukti sejarah bahwa memang sejak dahulu kala bangsa ini memang terkesan jauh dari budaya literasi. Dalam Bukunya yang berjudul Indonesia Baru, Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Selanjutnya hal itu berlanjut dengan apa yang disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan. Jadi selama ini kita memang sudah terbiasa dengan budaya lisan sehingga tak heran jika banyak sekali kejadian – kejadian sejarah yang cukup penting ikut hilang bersama waktu karena minimnya catatan – catatan yang merekamnnya.
Apakah kita akan mempertahankan budaya lisan tersebut sehingga di masa depan akan banyak mosaik – mosaik sejarah kita yang hilang akibat minimnya catatan yang ada? Tentu jawabannya tidak. Terus apakah kita juga langsung meninggalkan budaya kita itu? Tentu jawabannya juga tidak. Budaya yang kirang baik tidak perlu diubah, namun cukup tanamnkan nilai – nilai di dalam budaya tersebut. Maka cara yang paling tepat adalah menanamkan dan membangkitkan minat dan kemampuan membaca dan menulis bagi masyarakat Indonesia. Menanamkan nilai nilai literasi harus ditanamkan sejak dini. Sehingga sejak kecil akan terbiasa dengan kegiatan membaca dan menulis.
Untuk membangkitkan budaya literasi khusunya dalam menulis, kita dapat memulai menanamkan dalam diri anak – anak kita khususnya yang sedang duduk di bangku pendidkan dasar dengan terlebih dahulu menelusuri esensi utama dari kgiatan menulis  tersebut.  Saya akan mencoba membahas satu persatu sehingga kita bisa menemukan titik pangkal dari minat menulis dari diri seorang anak. Pertama, kegiatan menulis entah itu fiksi maupun non fiksi mau tidak mau, suka tidak suka pasti memerlukan bahan untuk menyelesaikan tulisan tersebut. JK Rowling dengan Harry Potternya, Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Pramudya Ananta Toer dengan tetralogi Bumi Manusianya sampai Paulo Coelho dengan karya – karya penuh makananya walaupun karya mereka merupakan tulisan fiksi namun mereka sangat membutuhkan data untuk menunjang karya – karya mereka itu. Terlebih lagi jika tulisan itu merupakan sebuah tulisan non fiksi, kedudukan data menjadi lebih penting untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bermutu. Seorang penulis tidak akan bisa membuat tulisan yang bagus tanpa data yang menjadi acuan dari tulisan tersebut. Entah itu data apapun, intinya mereka (para penulis) pasti pernah melihat, mendengar, membaca, merasakan atau mengalami secara langsung sesuatu hal sehingga bisa digunakan untuk menyempurnakan tulisan mereka tersebut. Seorang bayi tidak akan pernah bisa bicara tanpa pernah mendengar sebuah bahasa, seseorang tidak akan pernah bisa menulis dengan baik tanpa adanya data atau informasi dari sumber – sumber tertentu.
Kedua, setelah kita lihat bahwa data merupakan hal penting dalam sebuah tulisan maka untuk mendapatkannya maka penelitian (riset) merupakan sebuah keniscayaan. Riset disini bisa bervariasi, mulai dari tingkat yang sederhana sampai yang tingkat tinggi, mulai dari menggunakan metode sesuka hati sampai menggunakan metodologi yang paling mutakhir. Intinya untuk mendapatkan data maka diperlukan sebuah penelitian atau riset. Riset untuk tulisan fiksi pastinya bisa dilakukan sesuka hati penulis, namun riset untuk tulisan non fiksi tentunya dibutuhkan sebuah metodologi yang benar – benar bisa dibuktikan kebenaran data yang didapatkan dari riset tersebut. Kita bisa mengajarkan sebuah metode riset yang paling sederhana kepeda anak – anak sehingga mereka akan dengan mudah bisa mengumpulkan data yang bisa menunjang dalam proyek tulisan mereka.
Ketiga, bisakah kita paksakan kepada anak untuk melakukan sebuah riset? Tentu jawabannya tidak, seseorang akan melakukan sebuah riset jika didasarkan pada rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu merupakan modal utama untuk melakuakn sebuah kegiatan pencarian data atau riset. Tanpa rasa ingin tahu pasti seseorang enggan melakukan riset. Rasa ingin tahu akan sesuatu hal yang sekiranya menarik menurut si anak pasti akan membantu sekali dalam menumbuhkan minat melakukan sebuah pencarian data guna menjawab rasa keingin tahuan tersebut. Seorang anak akan dengan senag hati melakukan pencarian jawaban apabila rasa ingin tahu mereka sudah tumbuh dalam diri mereka. Selanjutnya yang keempat dan yang terakhir adalah, bagaiamana membangkitkan rasa keingin tahuan seorang anak untuk sesuatu hal? Jawabannya ada pada sebuah frasa yang sering kita dengar yaitu meaningfull learning atau pembelajaran bermakna. Seorang siswa akan bersemangat dalam mempelajari sesuatu apabila pelajaran atau materi tersebut sangat berguna bagi dirinya, atau minimal materi tersebut terasa dengan dekat denga kehidupannya. Jadi inti dari membangkitkan minat menulis pada diri seorang anak adalah dengan terlebih dahulu menerapkan sebuah pembelajaran yang bermakna bagi si anak tersebut. Jangan bermimpi untuk membuat mereka bersemangat dalam belajar dan mengetahui sesuatu tanpa membuat pembelajaran yang dekat dengan mereka, pembelajaran yang membumi dalam diri mereka.
Jadi jika ditarik kesimpulan dapat kita pahami bahwa budaya menulis khususnya pada seorang anak berujung pangkal dari penerapan sebuah pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran yang membumi bukan pembelajaran yang ada di awang – awang sehingga bukannya memupuk rasa ingin tahu mereka namun justru malah membuat mereka semakin merasa jauh dengan materi pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya sebuah pembelajaran yang bermakana, sulit rasanya membangkitkan rasa ingin tahu seorang siswa, tanpa adanya rasa ingin tahu pasti kegiatan riset juga tidak akan dapat dilakukan, tanpa riset tidak akan pernah ada data atau informasi yang dapat dikumpulkan, dan tanpa data atau informasi jangan harap akan ada tulisan – tulisan yang bermutu yang dihasilkan, tanpa tulisan – tulisan maka juga jangan bermimpi untuk membangkitkan budaya literasi di Negeri ini.

Mengambalikan Pendidikan Kepada Masyarakat

Setelah 69 tahun merdeka dunia pendidikan kita seolah masih jauh dari harapan. Pegangan pokok pendidikan Nasional seolah masih abu – abu dan kebijakan – kebijakan masih terkesan tumpang tindih. Puluhan tahun sistem pembelajaran di Indonesia terjebak dalam sistem pmbelajaran yang dapat dikatakan anti realitas.  Dari segi kuantitas sudah banyak anak – anak Indonesia yang mengeyam bangku pendidikan, sudah banyak pula beridri berbagai universitas yang mengajarkan berbagai bidang ilmu namun jika dilihat dari sisi kualitas , keadaan nya masih jauh dari harapan. Fakta menunjukan banyak potensi – potensi yang masih belum tergarap oleh tangan – tangan anak bangsa sehingga hal yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa ini justru berbalik menjadi masalah yang membebani pemerintah. Ambil contoh bidang pertanian, jutaan hektar lahan pertanian di Indonesia merupakan aset yang sangat bernilai. Jutaan petani menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian, namun karena kurangnya tangan – tangan ahli yang mengelola lahan – lahan pertanian tersebut membuat bidang pertanian tidak berkembang dan justru keadaannya semakin lama semakin memprihatinkan. Demikian pula dengan sektor UMKM, sektor yang merupakan andalan dalam perekonomian masih banyak yang belum tergarap baik. Banyak anak – anak muda yang enggan terjun menjadi enterpreneur sehingga sektor ini belum berkembang secara maksimal.
Jika ditarik mundur sebenarnya sudah banyak sekali berdiri fakultas pertanian di berbagai universitas, dan pelajaran pendidikan ekonomi juga sudah mulai dipelajari sejak sekolah menengah, namun kenapa sektor peranian dan UMKM masih belum berkembang? Jawabananya adalah karena sistem pembelajaran di sekolah – sekolah kita yang anti realitas. Selama ini guru atau dosen mengajarkan kepada anak didiknya berupa teori – teori yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dipelajari. Anak didik dipaksa menghafalkan teori – teori tanpa berusaha mengaitkan dengan realitas kehidupan nyata yang terjadi sekarang. Anak didik kurang diberikan arahan untuk belajar dari kehidupan nyata sehingga mereka hanya pintar menghafalkan teori – teori  usang yang sebagian besar sudah tidak relevan untuk diterapkan. Teori teori khususnya dalam ilmu – ilmu sosial terlahir dari realitas yang terjadi kemudian diabstraksi oleh ilmuwan sehingga melahirkan teori yang sesuai dengan zamannya. Jadi teori khusunya teori ilmu sosial merupakan sesuatu hal yang dinamis dan selalu mengikuti perkembangan sosial yang terjadi pada waktu itu. Jika anak didik dalam pembelajaran hanya didesain untuk menghafalkan teori akibatnya setelah mereka lulus akan mengalami suatu kejutan dengan tidak sesuainya kehidupan nyata yang ada dihadapannya dengan berbagai macam teori yang selama ini mereka pelajari. Akibatnya banyak lulusan sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi yang tidak bisa berbuat apa – apa, tidak bisa mengaplikasikan teori – teori yang selama ini mereka hafalkan dan akhirnya hanya menjadi penonton dalam ketatnya persaingan di dunia nyata.
Ada dua faktor yang menyebabkan sebuah pembelajaran yang anti realitas di sekolah – sekolah. Pertama adalah faktor guru. Guru merupakan faktor kunci dalam setiap pembelajaran di sekolah, walaupun sekarang sudah didengung – dengungkan pemblelajaran yang berpusat pada siswa namun peran guru masih sangat penting dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Guru seharusnya diisi oleh manusia – manusia yang luhur yang benar – benar mengabdikan dirinya untuk kemajuan anak didik mereka. Tugas guru yang sebenarnya bukanlah sekedar mengisi otak – otak siswa dengan pengetahuan yang dia ajarkan, namun tugas guru yang sesungguhnya adalah membangun pengetahuan dalam diri siswa sesuai dengan karakteristik, minat dan bakat yang ada dalam diri siswa. Pengetahuan yang guru ajarkan kepada anak didik belum tentu sesuai dengan apa yang menjadi minat dan bakat mereka, belum tentu mampu menjawab persoalan – persoalan yang mereka hadapi, maka yang paling bijak adalah menggunakan prisnsip kontruktivistik guna menciptakan sebuah pengetahuan yang benar – benar sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, sesuai dengan apa yang mereka minati. Tidak ada obat yang cocok untuk semua penyakit, dan tidak ada solusi yang bisa digunakan untuk menyelesaikan semua masalah, begitu pula dengan pengetahuan, semua harus diajarkan dan dikembangkan sesuai dengan apa kebutuhan anak didik.
Kedua adalah faktor sistem pendidikan yang ada saat ini. Faktor sistem pendidikan saat ini masih cenderung bersifat sentralistik. Sentralistik artinya segala macam keperluan mengenai materi – materi pelajaran sudah ditentukan oleh pusat yang dimanifestasikan dalam sebuah kurikulum dan pemaksaan satu bentuk ujian akhir berupa ujian nasional. Karena praktek sentralisasi tersebut telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia – manusia indonesia yang tanpa inisiatif dan generasi muda yang Indonesia yang mempunyai watak pegawai negeri yang tidak berinisiatif dan hanya bergerak karena petunjuk dari atasan (HAAR Tilaar, 2009). Disadari atau tidak minimnya inovasi dan daya kreativitas masyarakat kita merupakan hasil dari produk sebuah sistem pendidikan yang yang bersifat sentralistik. Warisan rezim orde baru yang terlalu lama berkuasa membuat sentralistik sudah terlanjur mendarah daging dalam setian aturan pemerintah termasuk di dalam dunia pendidikan. Masyarakat kita yang beraneka ragam etnis, budaya, kepercayaan, dsb sudah bisa dipastikan tidak akan bisa diakomodir dengan sebuah sistem yang (dianggap) mampu untuk diterapkan pada seluruh masyarakat Indonesia. Keseragaman bukanlah solusi, keseragaman bukanlah segalanya, namun persatuan di atas sebuah kebinekaan merupakan cara yang paling tepat guna mengembangkan masyarakat Indonesia ini.
Untuk mengahdapi tantangan dunia yang semakin berat dan kompleks sudah dipastikan banyak membutuhkan manusia – manusia yang kreatif dan inovatif di bidang masing – masing. Manusia yang mampu mengembangkan potensi – potensi yang ada di Negara ini. Dengan kemampuan tersebut Indonesia akan menjadi negara yang mampu berdaulat penuh di segala bidang. Negara yang sejak dahulu terkenal dengan hasil dari bidang agraris harus mampu mengembalikan predikat tersebut. Impor beras, bawang merah, jagung, kedelai dsb tidak perlu terjadi jika pembenahan dalam berbagai bidang khususnya pendidikan segera dilakukan.  Pembangunan manusia yang berbasis dengan minat dan potensi lokal akan mampu menghasilkan manusia – manusia yang mampu mengembangkan potensi daerah sehingga potensi – potensi di daerah dapat dimanfaatkan secara maksimal.