Belakangan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan pertumbuhan
ekonomi terbesar di Dunia, alih – alih persoalan kesejahteraan dan
pengangguran dapat teratasi justru yang
terjadi sebuah jurang kesenjangan pendapatan yang semakin menganga ( indeks
gini 0,41). Jika dipilah satu per satu, sektor penompang pertumbuhan ekonomi
Nasional sebagian besar ditopang oleh sektor jasa (tersier) yang tergolong sektor padat modal yang moncer
meninggalkan sektor lainya. Sektor
pertanian (primer) dan sektor industri (sekunder) yang merupakan sektor
padat karya justru terpuruk.
Dalam teori pertumbuhan ekonomi W.W.
Rostow disebutkan, perekonomian dimulai dari perekonomian tradisional, selanjutnya ke perekonomian
transisi dan akhirnya ke perekonomian matang. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa fondasi dari perekonomian merupakan sektor tradisional atau pertanian
selanjutnya menuju ke sektor transisi yang dapat diartikan sebagai sektor
industri atau manufaktur dan akhirnya menuju perekonomian yang matang yang
sudah bergantung pada sektor jasa. Namun yang terjadi di Indonesia justru
lompatan dari sektor pertanian dan industri yang masih rapuh menuju sektor jasa
yang notabene merupakan sektor padat modal. Akibatnya, banyak tenaga kerja
produktif di Indonesia yang tidak terserap pasar kerja dan pengangguran semakin
meningkat dan kesenjangan pendapatan semakin lebar.
Terpuruknya sektor pertanian
Salah satu penyebab pertumbuhan
ekonomi Indonesia tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah
terpuruknya sektor pertanian. Dalam sepuluh tahun terakhir, rata – rata sektor
pertanian hanya tumbuh sebesar 3 persen per tahun jauh dibawah pertumbuhan
ekonomi Nasional yang berada pada kisaran angka 6 persen per tahun, bandingkan
dengan pertumbuhan sektor tersier seperti jasa dan keuangan yang tumbuh sampai
7-8 persen pertahun. Hal tersebut sungguh ironis mengingat hampir separuh
penduduk Indonesia hidup pada sektor pertanian. Akibatnya banyak rumah tangga
tani yang hidup dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan sensus pertanian tahun
2013 sebanyak 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan sebesar 0,89
ha jauh di bawah standar skala ekonomi minimal yaitu sebesar 2 ha. Banyaknya jumlah rumah tangga tani yang menggantungkan
hidup dengan lahan dibawah standar skala ekonomi salah satunya dipengaruhi oleh
banyaknya alih fungsi lahan pertanian. Selama 10 tahun terakhir, jumlah lahan
pertanian di Indonesia susut sebesar 600.000 ha. Penyusutan lahan pertanian yang terjadi di
Indonesia sayangnya tidak sejalan dengan transformasi tenaga kerja pertanian ke
sektor industri atau manufaktur. Hal ini ditunjukan pengukuran sepanjang tahun 1955-2002
yang menunjukan bahwa dari setiap 1 persen penurunan lahan pertanian, Indonesia
hanya mampu menurunkan ketergantungan sumber lapangan kerja dari sektor
pertanian sebesar 0,43 persen. Akibatnya,
banyak tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian pedesaan
melakukan urbanisasi dan masuk ke sektor informal. Selain hal diatas, ketimpangan
dalam hal kepemilikan lahan juga terjadi. Pengukuran rasio gini dalam
kepemilikan lahan di Indonesia menunjukan disparitas yang nyaris sempurna yaitu
sebesar 0,7 persen. Selain itu data dari BPN menyebutkan, sebesar 56 persen
aset yang berupa tanah, lahan perkebunan dan properti hanya dikuasai oleh 0,2
persen penduduk Indonesia. Ketimpangan dalam hal kepemilikan lahan di Indonesia
ini menunjukan bahwa dampak dari liberalisasi pertanian yang semakin
mengkhawatirkan. Kebijakan – kebijakan pemerintah yang pro petani seperti
redistribusi lahan kurang begitu diperhatikan. Akibatnya sektor pertanian
semakin terpuruk dan dampaknya sangat terasa sampai saat ini.
Reformasi agraria
Salah satu cara yang paling
efektif dalam mengatasi permasalahan pertanian di Indonesia saat ini yaitu
dengan reformasi agraria. Di saat terpuruknya sektor pertanian saat ini,
reformasi agraria menjadi hal yang sangat urgen untuk dilakukan. Reformasi
agraria dalam arti sempit dapat diartikan sebagai redistribusi ulang lahan
pertanian atas dukungan penuh dari pemerintah. Selain itu, reformasi agraria
juga mencakup kebijakan dalam bidang kredit, pelatihan dan penyuluhan,
penyatuan tanah dll. Cousins (2007) menyebutkan, reformasi agraria juga
mencakup beberapa hal antara lain kepastian penguasaan lahan bagi buruh tani
dan buruh penyewa yang dapat membuat para penyewa ini mempunyai prospek yang
lebih baik, layanan infrastruktur dan pendukungnya serta partisipasi masyarakat
dalam penetapan keputusan – keputusan pemerintah di wilayah pedesaan. Dalam
sejarah Indonesia, kebijakan reformasi agraria pernah dikeluarkan oleh Bung Karno
dengan dikeluarkannya UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Bung Karno mengeluarkan
UU tersebut untuk menggati produk perundang – undangan peninggalan kolonial
Belanda yaitu Agraische Wet dalam Staatsblad Tahun 1870 No.55. Menurut catatan penulis, UU
Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 merupakan UU yang paling pro terhadap petani
kecil dalam sejarah Indonesia. Namun dalam perkembangannya, dikarenakan
dinamika politik dan ekonomi yang luar biasa waktu itu membuat UU tersebut
tidak ada tindak lanjut sama sekali sampai akhirnya orde lama runtuh dan
digantikan oleh rezim orde baru. Dan sampai saat ini pun penerpan reformasi
agraria yang komprehensif di Indonesia belum benar – benar dilakukan.
Dengan penerapan reformasi
agraria yang terencana secara matang dan dukungan penuh dari pemerintah, dapat
menjadi jalan keluar dalam carut marutnya pengelolaan sektor pertanian saat
ini. Komitmen kuat dari pemerintah serta keberanian dalam meng eksekusi program
merupakan kunci dalam suksesnya reformasi agraria. Semoga pemerintahan yang
baru kelak dapat dengan jitu melihat permasalahan sektor pertanian yang terjadi
di Indonesia saat ini serta mempunyai komitmen dan kerja nyata dalam mengatasinya. (diposting di Kompasiana pada 3 Juni 2014)