Ujian Nasional
seperti kita ketahui pada tahun ini sudah tidak menentukan kelulusan siswa.
Bagi kalangan yang pro ujian nasional mungkin akan mengecewakan, namun bagi
kalangan yang kontra justru merupakan suatu hal yang sangat membahagiakan.
Namun sayangnya, hilangnya fungsi UN sebagai penentu kelulusan juga dibarengi
dengan hilangnya minat belajar siswa. Apakah hal itu wajar? Apakah sebagian
besar siswa kita saat ini belajar jika hanya ada ujian? Menanggapi masalah
tersebut saya melihat terjadinya fenomena hilangnya semangat belajar siswa
tersebut dikarenakan sebagian besar siswa kita selama ini dididik dengan
menggunakan model behavioristik. Tipe behavioristik dalam teori belajar dikenal
sebagai sebuah perubahan yang dialami oleh siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respon. Teori belajar ini juga berasumsi bahwa manusia (siswa) dipandang sebagai organisme yang pasif. Prilaku manusia dikuasai oleh stimulus
yang ada di lingkungannya. Oleh karena
itu perilaku manusia dapat dikontrol/ dikendalikan melalui pemanipulasian
lingkungan. Guru dengan
tipe seperti ini akan mempunyai tingkah laku cenderung teacher centered, lebih mementingkan hasil dan mendewakan stimulus
untuk mendapatkan suatu respon. Penerapan teori belajar ini terlalu lama akan
membuat siswa cenderung pasif dan siswa akan terbiasa harus mendapatkan
stimulus dahulu untuk bereaksi terhadap sesuatu hal. Dampaknya adalah karena
terbiasa mendapatkan stimulus untuk melakukan sesuatu, maka ketika stimulus
tersebut dihilangkan maka respon siswa juga tidak akan muncul. Dalam hal ini
stimulus bisa berupa UN, tugas, ulangan, PR dsb sedangkan responnya berupa
kegiatan belajar siswa. Ketika UN (stimulus) dihilangkan maka secara otomatis semangat
belajar (respon) siswa juga akan hilang. Hal itu merupakan akibat dari
penerapan teori belajar tersebut terlalu lama. Siswa menjadi terbiasa belajar
hanya jika ada tekanan dan berakibat kesadaran mandiri siswa tidak terbangun
dengan baik.
Mengapa siswa kita sekarang kebanyakan didik dengan cara behavioristik
seperti itu? Ada dua sebab yang menjadikan siswa kita terlalu lama menjalani
proses pembelajaran dengan tipe bwhavioristik seperti itu. Pertama berasal dari
guru itu sendiri. Tidak bisa kita pungkiri mayoritas guru sekarang masih
menggunakan cara – cara behavioristik dalam pembelajaran. Masih banyak guru
yang cenderung otoriter di dalam kelas, menganggap siswa sebagai pembelajara
pasif, melihat hasil belajar dari sesuatu yang bisa diamati (nilai), memberikan
berbagai tugas atau PR agas siswa terus belajar, tidak memberikan kesempatan siswa untuk
mencari informasi seluas – luasnya, dan cenderung mendewakan hasil daripada
prosesnya. Guru seperti ini praktis akan membuat siswa terbiasa belajar hanya karena
tugas dan PR dari guru mereka. Kesadaran siswa tentang makna belajar yang
sesungguhnya tidak akan terbentuk. Akibatnya siswa akan lebih mengutamakan
hasil daripada proses yang dijalani. Kedua karena sistem pendidikan di
Indonesia. Selama beberapa tahun UN merupakan instrumen kelulusan yang membuat
siswa menjadi ketakutan dalam menghadapi ujian tersebut. Bukan hanya siswa,
orang tua, guru, kepala sekolah, bupati dan menteri pendidikan pun dibuat takut
dengan UN. Begitu hebatnya peran UN selama ini sehingga membuat guru di kelas
mau tidak mau akan mendidik siswanya untuk bisa mengerjakan soal UN pada waktu
ujian. Karena sistem tersebut, guru – guru yang sebenarnya kreatif dan
innovatif mau tidak mau akan menggunakan cara – cara behavioristik dalam mendidik
siswanya untuk mempersiapkan UN yang akan mereka hadapi. Cara latihan soal
tahun lalu dan cara mengerjakan soal secepat – cepatnya dengan sedikit
mengesampingkan prosesnya merupakan cara yang dipandang paling ampuh untuk
mempersiapkan siswa dalam menghadapi UN. Bahkan yang paling ekstrim ada sekolah
yang secara sengaja bertindak curang hanya untuk membuat siswa di sekolah
mereka 100% lulus.
Masalah tersebut apabila dibiarkan akan sangat berbahaya terutama bagi
perkembangan psikologis siswa. Pengangan secara simultan sangat penting untuk
segeraq dilakukan. Pembentukan karakter guru mutlak diperlukan. Penyiapan
tenaga pendidik yang benar – benar profesional dan sesuai dengan perkembangan
zaman harus dipersiapkan sejak dini. Untuk membentuk karakter guru yang baik,
penyiapan sejak dari calon guru juga harus dilakukan. Guru sebagai pendidik
harus benar – benar dapat berperan sebagai pendidik yang sesungguhnya. Guru harus
mampu mengembankan bakat dan minat peserta didik tanpa harus memasung
kreativitas mereka. Memanusiakan dan terus memumpuk semangat siswa dalam
belajar sangat penting agar dalam diri dalam siswa tumbuh kesadaran yang
mendalam bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan. Jika hal
itu telah dilakukan maka siswa akan secara sadar belajar secara mandiri tidak
peduli apakah ada stimulus (UN, PR, tugas, dsb) atau tidak. Selanjutnya adalah
pembenahan sistem yang ada, UN selama beberapa tahun berhasil merubah pola pandang
sebagian besar insan pendidikan. Banyak yang melihat hanya UN lah yang berhak
menetukan lulus atau tidaknya seorang siswa. dengan begitu sakralnya UN membuat
perubahan pola fikir pada sebagian insan pendidikan di Indonesia. Seolah – olah
hanya UN lah yang layak untuk dipersiapkan secara matang, dan akhirnya membuat
siswa belajar hanya karena UN bukan karena kesadaran mandiri dari dalam diri
siswa. Dengan perubahan kebijakan dan sitem baru ini diharapkan mampu mengambalikan
fitroh belajar yang sesungguhnya. UN yang tidak menentukan kembali kelulusan
siswa akan membuka belenggu kebebasan siswa dalam menghayati dan menyadari
secara mendalam makna dari sebuah belajar.
Semoga sistem baru ini akan membuat wajah
pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, dan mampu melahirkan anak – anak bangsa
yang terbebaskan dan mempunyai kesadaran penuh akan makna dan esensi sebuah
pembelajaran.
0 komentar:
Posting Komentar